Shadow

Mengenal Fiqh Tashni’, Formula Fikih Untuk Dunia Industri.

Mahfudz Ihsan Az-Zamami, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 Al-Murtadlo

Syariat sebagai salah satu aturan dalam beragama tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup seorang muslim. Syariat dalam cakupannya yang umum, mengatur segala hal yang berhubungan dengan interaksi-komunikasi masyarakat muslim dengan siapa pun, Tuhannya hingga tetangganya. Maka, fikih yang dianggap sebagai ragam aturan praktis yang digali dari dalil-dalil yang detail mutlak untuk dipelajari, sebagai media utama untuk mengikuti aturan syariat tadi.

Dalam konteks khusus, seorang awam yang belum memiliki kecakapan dalam penggalian dan perumusan hukum, memiliki kewajiban mengikuti suatu mazhab fikih. Di Indonesia, aliran fikih mazhab Syafii mendominasi segala keputusan hukum yang berbau syariat.

Maka, beberapa masalah ilmiah pun kemudian muncul. Banyak sekali beberapa kasus yang ternyata tidak cukup jika keputusannya hanya melalui fikih Syafii. Diktum-diktum dalam fikih tersebut kurang bisa menyikapi pluralitas kasus yang terjadi, khususnya kasus-kasus yang ada dalam Industri.

Maka, diperlukan adanya suatu formula yang semi-baru untuk menyikapi hal tersebut. Dikatakan “semi”, karena formula fikih tersebut berbasis pada teks syariat dan pendapat-pendapat ulama. Tak hanya fokus pada satu mazhab tertentu, jika kebuntuan kasus menuntut untuk adanya kajian lintas mazhab, hal tersebut bisa dilakukan. Dianggap baru, karena formula fikih tersebut diintegrasi dengan pengetahuan umum, terkhusus yang berhubungan dengan industri. Banyak sekali keputusan modern yang kolektif dan pendapat para pakar yang menjadi pertimbangan hukum dalam kajian Fikih Industri ini.

Dalam konteks industri, fikih memiliki peran yang vital. Dalam mengkontekstualisasi fikih di ranah industri diperlukan kecakapan dua ilmu sekaligus; agama dan umum. Hal ini karena seorang yang mengkaji fikih industri harus mengetahui sejauh mana urgensitas industri dari sudut pandang agama, bagaimana menciptakan ekosistem industri yang sesuai dengan prinsip fikih, bagaimana menciptakan inovasi-inovasi dalam industri agar terus sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip fikih, bagaimana suatu kebijakan yang moderat dapat diambil ketika fikih bertentangan dengan sub-sub industri, dan masih banyak lagi.

Fiqh Tashni’ yang kemudian disebut dengan Fikih Industri adalah kajian metodologis yang concern terhadap kasus-kasus yang berada di dunia Industri. Kemunculan gagasan Fikih Industri ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya; minimnya wawasan terkait urgensi berindustri yang baik dan sesuai pedoman syariat, perlunya pengkajian ulang tentang kriteria-kriteria produk halal yang diverifikasi dan divalidasi oleh BPOM dan MUI, Fiqh Mu’amalah sebagai representasi ekonomi Islam kurang mencangkup kajian industri sebagai bagian dari kegiatan ekonomi, dan desakan untuk bermazhab secara manhaji (metodologis).

Fiqh Tashni’, meneguhkan konsep fikih sebagai al-ahkâm al-‘amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggung jawab atas segala bentuk perilaku manusia agar selalu berjalan dalam bingkai agama serta tidak mengganggu pihak lain sehingga kemaslahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fikih diukur oleh relevansinya dalam menggiring masyarakat ke arah yang lebih maslahat, dinamis dan berkah. Jadi, orientasi dan misi dari Fiqh al-Tashni’ tidak lain adalah pengontrolan (controlling) oleh agama dan nilai moral terhadap kegiatan industri dan ekonomi dan restorasi (restoration) industri dan ekonomi ke dalam regulasi agama dan nilai moral masyarakat yang merupakan cita-cita luhur Islam sebagai agama dengan misi Maqashid al-Syari’ah. (Ba Fadhal, 2015).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.