Senin, September 9
Shadow

BERMADZHAB SECARA MANHAJI (I) ; Antara Manhaji, Qauli dan La Madzhabiyah

Tafaqquh.com – Seiring perkembangan zaman, masalah-masalah fiqhiyah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kian hari kian berkembang dan beragam. Dari masalah-masalah tersebut, banyak diantaranya yang merupakan problematika aktual yang secara faktual tidak terjadi pada masa ulama salaf (madzahib al-arba’ah). Dari sinilah maka muncul gagasan dari sebagian kalangan untuk tidak hanya bermadzhab secara qauli, tetapi juga secara manhaji.

Bermanhaj dalam Bermadzhab

Bermadzhab secara manhaji dapat dipahami sebagai upaya mendalami kajian ushul fiqh dan qawa’id fiqh sebagai metodologi pemutusan hukum terkait problematika aktual yang belum dirumuskan oleh ulama terdahulu; karena dengan kedua kajian tersebut jugalah para ulama salaf menghasilkan dan merumuskan masalah pada zamannya.

Dengan demikian, -menurut konsep ini- yang sebenarnya diperlukan untuk zaman sekarang adalah tidak saja menggunakan qaul madzhab, melainkan juga menerapkan manhaj madzhab yang berupa ushul fiqh dan qawa’idnya dalam memutuskan problematika kekinian.

Bermadzhab secara manhaji dalam prakteknya, sangat berpeluang untuk bertentangan dengan nash al-imam atau ibarat sharih, meskipun secara ‘illat terdapat titik temu. Hal tersebut dilakukan karena melihat perkembangan permasalahan di masyarakat. Seperti dalam kasus diperbolehkannya berangkat haji bagi wanita yang tengah menjalani masa ‘iddah dan belum talabbus bissafar (sudah dan sedang dalam perjalanan) dengan ‘illat yang berupa masyaqah berdasarkan referensi berikut:

(أو) أذن لها في (سفر حج) أو عمارة (أو تجارة) أو استحلال مظلمة أو نحوها (ثم وجبت) عليها العدة (في) أثناء (الطريق) (فلها الرجوع) إلى الأول (والمضي) في السفر لأن في قطعها عن السفر مشقة لا سيما إذا بعدت عن البلد وخافت الانقطاع عن الرفقة , والأفضل لها الرجوع لتعتد في منزلها كما نقلاه عن الشيخ أبي حامد وأقراه وهي معتدة في سيرها , وخرج بالطريق ما لو وجبت قبل الخروج من المنزل فلا تخرج قطعا , وما لو وجبت فيه ولم تفارق عمران البلد فيجب العود في الأصح عند الجمهور كما في أصل الروضة إذ لم تشرع في السفر.

نهاية المحتاج الجزء السابع صـ 158 دار الفكر

Atau seperti pendapat sebagian ulama kontemporer yang memperbolehkan kepemimpinan wanita berdasarkan firman Allah SWT:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ.

Setelah mengutip pendapat dari tafsir al-Maraghi dan Ahkam al-Qur’an yang menafsirkan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki berhak menjadi pemimpin bagi perempuan, karena ada beberapa keunggulan dalam segi fisik atau berusaha atau bekerja (kasb) dan keunggulan dalam bidang intelektualitas (nazhari), beliau mengatakan:

“Apabila memang benar bahwa kepemimpinan laki-laki dikaitkan dengan kemampuan mereka dalam intelektualitas dan aktivitas. Sebagaimana ‘illat yang terdapat dalam ayat tersebut (wa bima anfaqu dan bima fadlala Allah), maka sama sekali tidak ada keberatan apabila perempuan juga menjadi pemimpin jika telah memenuhi kriteria kepemimpinan. Dengan kata lain, perempuan telah memiliki cukup kemampuan intelektualitas dan kemampuan aktivitas, karena di dalam agama Islam sama sekali tidak ada aturan baku bahwa hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin.”

 Metodologi Istinbath ala NU

Dalam Bahtsul Masail komisi Maudlu’iyyah Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun 2015 yang lalu, diputuskan bahwa NU melegalkan praktek ijtihad secara kolektif dengan merujuk pada qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyah ketika tidak mungkin dijawab melalui nash sharih atau metode ilhaq al-Masail binazhiriha.

Dalam forum tersebut diputuskan bahwa istinbath al-ahkam dibagi menjadi dua:

Pertama, istinbath min an-nushush, ditempuh dengan menggunakan metode bayani, yaitu dengan meneliti asbab an-nuzul, dan melakukan analisa al-tahlil al-lafdzi, al-tahlil al-ma’nawi, bahkan al-tahlil ad-dalali. Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka Nahdlatul Ulama harus dimungkinkan untuk melakukan qiyas dengan standar-standar yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab Ushul Fiqh.

Kedua adalah istinbath min ghair an-nushush, yang dilakukan dengan cara memperhatikan maqashid asy-syari’ah. Dalam konteks maqashid asy-syari’ah inilah beberapa hal mesti diperhatikan, yaitu istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, syad adz-dzari’ah, termasuk juga istishhab, sejauh itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang qath’i, dengan prinsip-prinsip pokok di dalam nushush asy-syari’ah.

(dikutip dari hasil keputusan Forum Musyawarah Pondok Pesantren se Jawa Madura FMPP ke 30, komisi B, di PP. Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat, 20-21 Oktober 2016)

Manhaji vs Qauli

Merunut penjelasan di atas, kiranya bermadzhab secara manhaji bukanlah sesuatu yang “tabu” untuk dilakukan. Bermadzhab secara manhaji bahkan menjadi semacam ruh dari fikih yang bersifat dinamis. Fikih tidak pernah berhenti pada satu titik. Fikih selalu berjalan dinamis seiring dengan dinamisnya perubahan zaman.

Membatasi cara bermadzhab hanya pada bermadzhab secara qauli, yakni dengan penerimaan absolut produk fikih yang tersebar dalam teks-teks fikih para Imam terdahulu tanpa telaah mendalam manhajnya, sama halnya mengekang dinamika fikih.  Mengekang dinamika fikih sama halnya dengan menutup mata pada dinamika perubahan zaman.

Namun, bermadzhab secara manhaji tanpa dilandasi dengan disiplin yang ketat dalam menerapkan manhaj suatu madzhab yang diikuti justru akan menimbulkan madzhab baru yang secara metodologi istinbath kurang atau bahkan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dengan kata lain, jika manhaj atau metodologi istinbath madzhab yang  diikuti tidak dikuasai atau tidak dijalankan secara disiplin, tidak hanya rumusan hukumnya yang akan berbeda dengan imam madzhab, melainkan juga manhajnya. Jika ini yang terjadi maka tanpa sadar akan menambah panjang daftar kelompok la madzhabiyyah, yakni kelompok anti madzhab.

Lalu, bagaimanakah bermadzhab secara manhaji itu bisa direalisasikan tanpa menimbulkan hal yang dikawatirkan sebagaimana di atas?

Ikuti lanjutannya di LEGALITAS BERMADZHAB SECARA MANHAJI

In Sya Allah

Redaksi Tafaqquh
Latest posts by Redaksi Tafaqquh (see all)

"Sebuah tim adalah lebih dari sekedar sekumpulan orang. Ini adalah proses memberi dan menerima."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.