Shadow

Klasifikasi Kalam Berdasarkan Penggunaan Lafaz Yang Sesuai Dengan Madlul Dan Tidak Sesuai Kajian Waraqat: Kalam (Bagian 3)

            Sebelumnya Al-Imam Haramain membahas klasifikasi kalam berdasar susunan kata pembentuk kalam –silakan lihat kalam bagian 1— dan klasifikasi kalam berdasar madlul (makna yang ditunjukkan oleh kalam) –silakan lihat kalam bagian 2. Selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah klasifikasi kalam berdasarkan penggunaan lafaz yang sesuai dengan madlul (makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz) dan tidak sesuai dengan madlul.

            Melihat penggunaan lafaz yang sesuai madlul atau yang tidak sesuai, kalam terbagi menjadi dua bagian, yaitu haqiqah dan majaz

Pengertian Haqiqah

Dalam hal ini, Al-Imam Haramain menyajikan dua ta’rif (definisi) mengenai haqiqah.

  1. Haqiqah adalah penggunaan suatu lafaz yang sesuai dengan penggunaan awal. Yang dimaksud dengan penggunaan awal adalah awal pertama kali lafaz digunakan secara lughawi (kaidah bahasa).
  2. Haqiqah adalah lafaz yang digunakan berdasar istilah sebagian golongan tertentu meskipun tidak sesuai istilah lughawi. Definisi ini melahirkan makna-makna lafaz dari berbagai perspektif. Contoh, lafaz ‘shalat’ dimaknai sebagai gerakan tertentu (niat, takbir, rukuk, sujud) yang sebenarnya makna ‘shalat’ semacam ini tidak sesuai dengan penggunaan awal (secara lughawi) yang berarti doa kebaikan. Contoh lainnya, ‘hewan’ yang dimaknai sebagai hewan  berkaki empat semisal keledai. Makna ‘hewan’ sebenarnya adalah setiap sesuatu yang melata di muka bumi.

Pengertian Majaz

Seperti halnya hakikat, Al-Imam Haramain menyajikan dua ta’rif mengenai majaz.

  1. Majaz adalah lafaz yang sudah melewati alias keluar dari penggunaan awal (lughawi). Ta’rif ini sebagai pembanding dari ta’rif haqiqah yang pertama. Maka, bisa dipahami bahwa setiap lafaz yang digunakan untuk selain penggunaan awal atau lughawi disebut dengan majaz.
  2. Majaz adalah lafaz yang digunakan untuk selain istilah golongan tertentu. Bisa jadi suatu lafaz haqiqah menurut satu golongan, akan tetapi majaz menurut golongan lain. Contoh, lafaz ‘shalat’ secara hakikat menurut syara’ (ulama’ fikih) bermakna gerakan tertentu suatu ibadah (takbir, rukuk, sujud). Makna semacam ini dianggap majaz oleh pakar/ahli bahasa yang menurut mereka ‘shalat’ bermakna doa. Begitu pula sebaliknya.

Akan tetapi, tidak serta merta suatu lafaz bisa dijadikan majaz. Lafaz bisa dianggap majaz apabila penggunaannya terhadap makna lain (selain haqiqah) didasarkan adanya ‘alaqah (hubungan/keterkaitan).

Pembagian Haqiqah

Setelah mengklasifikasi lafaz menjadi haqiqah dan majaz, selanjutnya Al-Imam Haramain dan pakar Ushul Fikih lainnya membagi haqiqah menjadi tiga:

  1. Haqiqah Lughawiyah, adalah lafaz yang dicetuskan oleh ahli bahasa untuk menunjukkan suatu makna. Contoh, kata ‘singa’ yang menunjukkan makna hewan buas.
  2. Haqiqah Syar’iyyah, adalah lafaz yang dicetuskan oleh Syari’ untuk menunjukkan suatu makna. Contoh, kata ‘shalat’ yang menunjukkan makna ibadah tertentu (takbir, rukuk, sujud).
  3. Haqiqah ‘Urfiyah, adalah lafaz  yang dicetuskan oleh orang-orang pada umumnya untuk menunjukkan suatu makna. Contoh, kata ‘Ad-Dabbah’  yang menunjukkan makna hewan berkaki empat semisal keledai. Atau haqiqah ‘urfiyah hanya berdasarkan hal umum di suatu golongan tertentu. Contoh, kata ‘isim  fa’il’ yang menurut para pakar Nahwu adalah isim yang dibaca rafa’ yang disebutkan setelah kata kerja (subjek).

Syarih dari pada kitab Waroqot (Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli) menjelaskan bahwa pembagian haqiqah di atas berlaku apabila mengikuti atau memakai ta’rif haqiqah yang kedua.

Pembagian Majaz

Kemudian. Al-Imam Haramain melanjutkan pembagian majaz. Dalam hal ini beliau membagi menjadi empat:

  1. Ziyadah (tambahan), adalah suatu tambahan dalam rangkaian satu kalimat yang seandainya tambahan tersebut dihilangkan, maka makna  satu rangkaian kalimat menjadi jelas. Contoh, firman Allah:

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾

Tidak ada satupun seperti Allah.”

Mayoritas ulama mengatakan bahwa kaf (ك) pada lafaz mitslihi hanya sebatas tambahan. Karena apabila kaf tersebut dimaknai sebagaimana mestinya yang berarti serupa/seperti, maka makna dari satu rangkaian kalimat contoh di atas adalah: “Tidak ada satu pun yang menyerupai serupanya Allah.” Berarti ada hal lain yang dapat menyerupai Allah dan hal demikian tidak dapat dibenarkan.

  • Nuqshan (pengurangan), yakni adanya pengurangan dalam satu rangkaian kalimat yang seandainya ada tambahan pada satu rangkaian tersebut, maka maknanya jelas. Contoh,

﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾

“Tanyakanlah kepada (penduduk) desa.”

Maksud dari contoh di atas adalah was’al ahlal qaryah. Tentu kita tidak bertanya pada desanya, melainkan bertanya kepada penduduk desa.

  • Naqlu (pemindahan), yakni adanya pemindahan penggunaan lafaz dari makna asalnya oleh ‘urf (penggunaan secara umum). Contoh, kata ‘Al-Gha’ith’  yang pada umumnya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang keluar dari tubuh manusia (tinja). Makna asal lafaz ‘gha’ith’ sendiriadalah tempat yang disediakan untuk buang hajat (BAB/BAK).
  • Isti’arah (penyerupaan), yakni adanya penyerupaan antara satu hal dengan hal yang lain. Majaz bagian ini bisa terjadi apabila ada wajh syabah (titik persamaan) antara dua hal yang diserupakan. Contoh, ja`a asadun (singa telah datang). Tapi, yang dimaksudkan bukan singa yang asli, melainkan seorang pemberani. Titik persamaannya adalah singa adalah hewan pemberani yang kemudian kata singa diperuntukkan untuk seoarang laki-laki pemberani.

Mauludin Rahmat

Mutakharrijin Ma’had Aly An-Nur II

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.