Kebaikan dan Keburukan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas dari segala lini kehidupan manusia. Setiap hal pasti akan menduduki posisi sebagai yang baik (kebaikan) atau sebaliknya, menjadi yang buruk (Keburukan). Dalam disiplin ilmu Ushul Fikih kajian tentang standar kebenaran dan keburukan adalah hal yang sangat fundamental dibahas, karena hal tersebut menjadi tolak ukur untuk mengidentifikasi dengan tepat mana yang dikatakan baik dan sebaliknya.
Definisi
Pengertian dari kebaikan atau hasan dalam kajian Ushul Fikih mengarah pada hal-hal yang sesuai dengan tabiat manusia pada umumnya atau sebuah sifat kesempurnaan yang melekat pada suatu hal, seperti contoh status baik pada sesuatu yang manis. Sebaliknya, keburukan atau qubhu mengarah kepada setiap hal yang tidak sesuai dengan tabiat manusia pada umumnya atau sifat kekurangan (naqshu), seperti contohnya status buruk pada sesuatu yang pahit.
Para ulama sepakat bahwa pengertian kebaikan dan keburukan di atas menggunakan tolak ukur akal manusia. Yang dimaksud tolak ukur di sini, cukup dengan akal saja untuk manusia melabeli suatu hal itu dikatakan baik atau buruk. Sayangnya, dua pengertian di atas bukanlah pengertian kebaikan dan keburukan yang ada dalam ranah kerja syariat Islam, lantas apa pengertian kebaikan dan keburukan dalam Islam?
Dalam Kitab Jam’u Al-Jawami’ karangan Imam Tajuddin As-Subkhi, kebaikan dalam pandangan syariat Islam adalah sesuatu yang berkonsekuensi pujian di dunia dan pahala di akhirat kelak. Seperti halnya baiknya orang yang berkata jujur. Sedangkan keburukan adalah sesuatu yang berkonsekuensi cacian di dunia dan hukuman (iqab) di akhirat. Seperti contoh buruknya orang yang berkata bohong.
Khilaf Mengenai Kebaikan dan Keburukan
Pengertian kebaikan dan keburukan di atas menimbulkan beberapa pandangan di kalangan ulama teologi. Kebanyakan yang dinukil dalam kajian Ushul Fikih adalah dialektika khilaf antar Teolog Mu’tazilah dan Ahlusunah. Secara mendasar dua kelompok besar teologi Islam ini berbeda pandangan pada apa yang menjadi tolak ukur dari kebaikan dan keburukan dengan pengertian di atas.
Menurut golongan Mu’tazilah (mazhab pengikut Washil bin ‘Atha’), akal sudah cukup untuk menjadi penentu suatu hal dikatakan baik atau buruk. Adanya nash syariat hanya sebagai penguat (mu`akkid) dan legitimasi atas apa yang sudah dipersepsikan oleh akal. Baik secara Dlaruriy (tanpa penalaran) –seperti baiknya berkata jujur yang bermanfaat— atau secara Nadhariy (penalaran) –seperti baiknya berbohong yang bermanfaat.
Sementara itu, menurut golongan Asy’ariyah (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari), tolak ukur standar kebenaran dan keburukan adalah akal, di mana akal manusia ada hanya sebagai penguat apa yang telah ditetapkan oleh nash syariat. Lantas, apapun yang diperintahkan oleh syariat maka itu adalah baik, sedangkan yang dilarang oleh syariat menjadi hal yang buruk.
Bermuara dari khilaf inilah, golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah berbeda pandangan tentang bagaimana hukum perkara yang baik dan buruk sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW?
Karena orientasi kebenaran dan keburukan menurut Mu’tazilah adalah akal, maka apapun kebaikan dan keburukan yang dilakukan umat sebelum adanya syariat telah berdampak pada hukum. Hal ini meninjau adanya syariat hanya sebagai penguat atas kebenaran atau keburukan sesuatu tersebut.
Sedangkan Asy’ariyah, berimplikasi dari pemahaman bahwa kebenaran dan keburukan penentunya adalah syariat, maka apapun yang dilakukan oleh umat sebelum datangnya syariat bersifat mauquf (tertangguhkan) hingga munculnya syariat yang menjadi penentu kebenaran dan keburukan atas apa yang dilakukan oleh manusia. Dari situ, tidak ada konsekuensi apapun atas segala hal baik ataupun buruk yang dilakukan sebelum datangnya syariat. Pendapat ini berlandaskan nash Al-Qur’an dalam surah Al-Isra’ ayat 15 yang berbunyi:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Q.S. Al-Isra’: 15).
Dari kedua pendapat ini, aliran teologi Ahlusunah jelas lebih mengunggulkan pendapat dari Asy’ariyah karena pendapat inilah yang lebih aman dan jauh dari kesalahpahaman. Di mana Syariat adalah Tolak ukur standar kebaikan dan keburukan. Porsi akal hanya sebagai penguat dan penegas atas apa yang ada dalam syariat. Berbeda dengan Mu’tazilah yang cenderung rasionalis, di mana akal sudah cukup untuk menentukan kebaikan dan keburukan. Sehingga, berimplikasi bahwa apapun yang ada dalam syariat haruslah sesuai dengan apa yang telah dipersepsikan oleh akal.
Lukman Chamid
Mutakharijjin Ma’had Aly An-Nur II
- Bermedia Sosial Dalam Timbangan Islam - Oktober 13, 2024
- Klasifikasi Kalam Berdasarkan Penggunaan Lafaz Yang Sesuai Dengan Madlul Dan Tidak Sesuai Kajian Waraqat: Kalam (Bagian 3) - September 20, 2024
- Kajian Ushul Fikih: Standar Kebaikan (Al-Husnu) dan Keburukan (Al-Qubhu) Dalam Islam - September 20, 2024