Shadow

SUJUD SYUKUR DALAM DISKUSI FUQOHA’

Tafaqquh.com, Sahabat tafaqquh! ……

Tulisan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menginformasikan hukum sujud syukur, namun lebih dari itu adalah untuk sedikit bisa memberi gambaran kepada kita bagaimana para fuqoha’ mencetuskan sebuah kesimpulan hukum. Bagaimana semangat, kegigihan dan kedalaman ilmu sekaligus ketinggian integritas mereka berpadu dalam rangkaian dalil-dalil, bahkan “hanya” untuk sebuah ibadah yang bernilai sunnah, bukan wajib. Dari sini lalu kita bisa sedikit berkaca pada diri kita sendiri. Ah …. Betapa kita bukanlah apa-apa, siapa tahu kesombongan kita sedikit bisa terobati. Amin.

Sesuai denga namanya, sujud syukur adalah sujud sebagai ungkapan syukur atas datangnya nikmat atau karena terhindar dari bencana. Fuqoha’ berbeda pendapat tentang disyari’atkannya sujud syukur. Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur dan ibnul Mundzir menyatakan bahwa sujud syukur hukumnya sunnah. Imam Abu Hanifah berpendapat makruh. Sedangkan Imam Malik ada dua riwayat, riwayat yang masyhur menyatakan makruh sedang riwayat lain menyatakan tidak sunnah. (al Majmu’: 4/70, al-mawsu’ah al-kuwaitiyah: 24/246. Syamila v.3.5)

Pendapat yang menyatakan makruh berpedoman pada hadits Rasulullah ﷺ dari riwayat Anas RA dan disebutkan dalam shohih Bukhori dan Muslim:

شكا إليه رجل القحط وهو يخطب فرفع يديه ودعى فسقوا في الحال ودام المطر إلى الجمعة الاخرى فقال رجل يا رسول الله تهدمت البيوت وتقطعت السبل فادع الله يرفعه عنا فدعي فرفعه في الحال

Seorang lelaki mengeluhkan paceklik kepada Rasulullah ﷺ, waktu itu Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah, maka Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Maka diturunkanlah hujan seketika itu dan terus turun hingga jum’at yang lain. Lelaki itu datang lagi dan berkata, “Ya Rasulallah rumah-rumah telah hancur dan jalan-jalan terputus, berdoalah kepada Allah (agar hujan berhenti)”. Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, seketika itu hujan berhenti“.

Pertanyaannya, Kalimat manakah yang menunjukkan kemakruhan? Bukankah dalam hadits tersebut tidak ada larangan bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang sujud apalagi sujud syukur? Inilah yang membedakan kita dengan para mujtahid. Mereka memandang dalil secara cermat dan mendalam. Para fuqoha’ yang menyatakan makruh, memandang tidak sujudnya Rasulullah ﷺ pada turunnya hujan pertama kali dan terputusnya hujan pada kali yang lain menunjukkan tidak disyari’atkannya sujud syukur. Mafhumnya, jika saja disyari’atkan sujud maka pastilah Beliau melakukannya pada peristiwa pertama turunnya hujan. Sebab, peristiwa itu adalah nikmat yang besar yang datang dengan tiba-tiba. Juga pada peristiwa berhentinya hujan yang menjadi sebab terhindar dari musibah yang besar.

Selain dari mafhum hadits di atas, Fuqoha’ yang berpendapat makruh juga memberikan alasan yang lain. Yaitu, setiap saat manusia tidak terlepas dari nikmat. Membebani mereka dengan anjuran (baca: perintah) sujud adalah sebuah kesulitan yang besar atau dalam bahasa ushulnya disebut haraj. Padahal, Salah satu bangunan dasar fiqih adalah raf’ul haraj wa qillatut taklif, menghilangkan kesulitan dan sedikitnya beban (al-Mawsu’ah: 14/212, al-fiqhu was syari’ah: Syamila v.3.5), perintah sujud atas datangnya nikmat bertentangan dengan dasar ini.  (silahkan lihat kajian tafaqquh tentang masyaqqoh disini)

Ashabus syafii dan fuqoha’ yang berpendapat sunnah mendasarkan pendapat mereka pada hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abi Bakroh dan Sa’id bin Abi Waqqosh Radliyallahu ‘anhuma:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَكَّةَ نُرِيدُ الْمَدِينَةَ فَلَمَّا كُنَّا قَرِيبًا مِنْ عَزْوَرَا نَزَلَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا اللَّهَ سَاعَةً ثُمَّ خَرَّ سَاجِدًا فَمَكَثَ طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا اللَّهَ سَاعَةً ثُمَّ خَرَّ سَاجِدًا فَمَكَثَ طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ سَاعَةً ثُمَّ خَرَّ سَاجِدًا ذَكَرَهُ أَحْمَدُ ثَلاَثًا قَالَ  إِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى وَشَفَعْتُ لأُمَّتِى فَأَعْطَانِى ثُلُثَ أُمَّتِى فَخَرَرْتُ سَاجِدًا شُكْرًا لِرَبِّى ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِى فَسَأَلْتُ رَبِّى لأُمَّتِى فَأَعْطَانِى ثُلُثَ أُمَّتِى فَخَرَرْتُ سَاجِدًا لِرَبِّى شُكْرًا ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِى فَسَأَلْتُ رَبِّى لأُمَّتِى فَأَعْطَانِى الثُّلُثَ الآخَرَ فَخَرَرْتُ سَاجِدًا لِرَبِّى

Kami keluar bersama Rasululloh dari Makkah menuju Madinah. Ketika kami mendekati ‘Azwara Rasulullah berhenti kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa sejenak. Kemudian Beliau menjatuhkan diri bersujud. Rasululloh diam (dalam sujudnya) dalam waktu yang lama. Kemudian Beliau bangkit lalu mengangkat kedua tangannya sejenak lalu menjatuhkan diri bersujud dan diam dalam waktu yang lama.  Kemudian Beliau bangkit lalu mengangkat kedua tangannya sejenak lalu menjatuhkan diri bersujud – Ahmad (Ahmad bin Sholih perowi hadits) menuturkannya tiga kali- Rasulullah berkata: “Aku meminta kepada Tuhanku dan aku mensyafaati ummatku lalu Allah memberiku sepertiga ummatku, maka aku bersujud karena syukur kepada Tuhanku. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan aku meminta kepada Tuhanku untuk ummatku lalu Dia memberiku sepertiga ummatku, maka aku bersujud karena syukur kepada Tuhanku. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan aku meminta kepada Tuhanku untuk ummatku lalu Dia memberiku sepertiga ummatku, maka aku bersujud karena syukur kepada Tuhanku.

Mengenai hadits ini Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan aku tidak melihat adanya salah satu rawi yang lemah. Abu Dawud juga tidak mendlo’ifkan hadits ini, dan setiap hadits yang ia riwayatkan dan tidak ia beri keterangan dlo’if maka hadits tersebut berada pada derajat hasan”. (al-Majmu’: 4/70, Syamila v.3.5)

Hadits lain yang menunjukkan kesunnahan sujud syukur diriwayatkan oleh oleh Imam al-Bayhaqi dari Barra’ bin Azib bahwasanya ketika menerima surat Ali Radliyallahu anhu dari Yaman yang mengabarkan masuk Islamnya penduduk Hamdan, Rasululloh langsung bersujud karena bersyukur atas masuk Islamnya penduduk Hamdan.  Imam al-Bayhaqi menilai shohih dengan standart pentashihan al-Bukhori (As-Sunan al-Kubro: 3747, al-Majmu’: 4/70).

Satu lagi  hadits shohih dari riwayat Abi Bakroh

أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ

Sesungguhnya Rasulullah ketika mendapati perkara yang membahagiakan atau dikabari hal itu beliau menjatuhkan diri bersujud dan bersukur kepada Allah. (Sunan Abi Dawud:2774, as-sunan al-kubro: 3749)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut ashabus syafii menyimpulkan bahwa sujud syukur hukumnya sunnah. Tidak sujudnyaRasulullah pada hadits pertama diatas difahami sebagai dalil bolehnya ditinggalkan atau karena ketika itu Beliau ﷺ sedang berkhutbah diatas mimbar dan tidak memungkinkan untuk sujud.

   Kapankah Disunnahkan Sujud Syukur?

Dalam hal ini Imam an-Nawawi berkata: “Imam Syafii dan Ashab berkata, sujud syukur disunnahkan ketika ada nikmat baru yang dhohir atau tertolaknya bencana yang dhohir, baik nikmat atau bencana yang bersifat khusus atau umum menyangkut kaum muslimin. Ashabus Syafii berkata, demikian pula sunnah sujud ketika melihat orang yang mendapat cobaan di tubuhnya atau yang lain atau dengan melakukan maksiyat. Sujud tidak disyari’atkan karena terus berlangsungnya nikmat. Karena hal itu tidak akan terputus“.

Sujud Syukur Dalam Sholat

Para ulama’ sepakat bahwa sujud syukur tidak boleh dilakukan didalam sholat serta dapat membatalkan sholat. Hal ini karena sujud syukur tidak ada hubungannya dengan sholat. Sesuatu yang menjadi sebab sunnahnya sujud syukur itu berada di luar sholat sehingga melakukan sujud syukur dalam sholat sama halnya telah berpaling dalam sholat. Hal ini berbeda dengan sujud tilawah, yakni sujud yang dilakukan karena ada bacaan ayat sajdah yang ia baca atau yang dibaca oleh imamnya(Syarhul Bahjatil Wardiyah,IV/125).

Tata Cara Sujud Syukur

Sujud syukur pada dasarnya adalah melakukan salah satu bagian dari sholat. Karena itu para ulama’ yang berpendapat disyariatkannya sujud syukur mempersaratkan terpenuhinya syarat-syarat sholat dalam melakukan sujud syukur. Tidak sah melakukan sujud syukur tanpa bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat dan lain-lain dari syarat-syarat yang ada dalam sholat (al-Majmu’, IV/68, al-Mausu’ah al-kuwaitiyah, 24/248)

Ketika seseorang menginginkan sujud syukur maka ia menghadap kiblat dalam keadaan suci dan menutup aurat lalu bertakbir, setelah itu turun melakukan sujud satu kali dengan cara sujud sebagaimana dalam sholat. Ia bertahmid dan bertasbih dalam sujudnya, tidak ada tuntunan khusus bacaan yang dibaca dalam sujud tersebut yang terpenting adalah tetap menggunakan bahasa Arab. Kemudian bangkit dengan membaca takbir lalu duduk seperti duduk tasyahhud akhir lalu salam. Dalam keadaan duduk apakah membaca tasyahhud? Ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menurut Imam An-Nawawi adalah tidak syaratkan membaca tasyahhud akhir.

Sekian dan semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam

By: Redaksi Tafaqquh.com

Ust. Nidhom Subkhi
Latest posts by Ust. Nidhom Subkhi (see all)

Khodim Ma'had Salafiyyah AsSyafi'iyyah Pulungdowo Malang. CEO & Founder Tafaqquh Media Center Malang. Editor in Chief Tafaqquh.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.