Shadow

MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID

Tafaqquh.com – Seringkali kita jumpai peralatan masjid (inventaris masjid) digunakan untuk selain kepentingan masjid seperti: karpet digunakan untuk kegiatan keagamaan (pengajian, tahlilan, sholawatan dll.), speaker atau sound system masjid digunakan pengumuman-pengumuman, berita kematian dll., mobil masjid digunakan sebagian jama’ah atau pengurus masjid untuk ziaroh wali, ereng-ereng manten atau keperluan pribadi yang lain.
Juga banyak sekali kita lihat uang kas masjid hasil jariyah masyarakat digunakan untuk memberi bisyaroh khotib, muadzin, petugas kebersihan, ta’mir masjid, memberi santunan kepada jama’ah masjid yang kurang mampu dll. ada pula dana masjid yang digunakan untuk membangun tempat pendidikan (TPQ, MADRASAH), bahkan ada pula yang digunakan untuk membangun MCK yang lokasinya di tanah bukan milik Masjid.

 

Bagaimanakah hukumnya menggunakan inventaris Masjid untuk kepentingan umum atau pribadi sebagaimana dalam deskripsi ?

Jawaban

Pada dasarnya, penggunaan inventaris (barang/peralatan) masjid harus sesuai dengan tujuan pewakaf atau orang yang bersedekah (penyumbang). Maka dari itu, penggunaan inventaris masjid yang digunakan di dalam masjid serta terdapat kemaslahatan yang kembali kepada masjid adalah boleh.
Sedangkan penggunaan inventaris untuk selain kepentingan masjid dan digunakan diluar masjid hukumnya tidak boleh, kecuali ada kerelaan dari pihak penyumbang yang bisa diketahui dari pernyataan penyumbang, pemberitahuan penggunaan sumbangan yang disampaikan sebelumnya oleh takmir, atau kebiasaan (urf) yang berlaku di masyarakat, serta terdapat maslahat yang kembali kepada masjid atau kaum muslim.

Referensi

إعانة الطالبين الجزء الثالث ص: 171 دار الفكر
حيث أجمل الواقف شرطه اتبع فيه العرف المطرد فى زمنه لأنه بمنزلة شرطه ثم ما كان أقرب إلى مقاصد الواقفين كما يدل عليه كلامهم ومن ثم امتنع فى السقايات المسبلة على الطرق غير الشرب ونقل الماء منها ولو للشرب

“Jika orang yang wakaf tidak memerinci syaratnya, maka pentashorrufan harta wakaf mengikuti kebiasaan yang berlaku pada masa pewakaf tersebut. Kebiasan yang berlaku itu hukumnya sama dengan syarat dari pewakaf. Lalu, (jika tidak ada kebiasan yang berlaku) maka yang menjadi pertimbangan adalah apa yang paling mendekati tujuan pewakaf. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan para ulama’.
Dari situ dapat dimengerti bahwa air minum yang disediakan di jalan tidak boleh digunakan untuk selain minum dan tidak boleh dipindah ketempat lain sekalipun untuk minum.” (Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Juz III, h. 171, darul fikr)

الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمى الجزء الثالث ص: 288 … دار الفكر
وَلَا يَجُوْزُ اِسْتِعْمَالُ حُصُرِ الْمَسْجِدِ وَلَا فِرَاشِهِ فِى غَيْرِ فُرُشِهِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ أَكَانَ لِحَاجَةٍ أَمْ لَا وَاسْتِعْمَالُـهـَا فِى الْأَعْرَاسِ مِنْ أَقْبَحِ الْمُنْكَرَاتِ الَّتِىْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ إِنْكَارُهَا وَقَدْ شَدَّدَ الْعُلَمَاءُ النَّكِيْرَ عَلَى مَنْ يَفْرِشُهَا بِالْأَعْرَاسِ وَالْأَفْرَاحِ وَقَالُوْا يَحْرُمُ فَرْشُهَا وَلَوْ فِى مَسْجِدٍ آخَرَ وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ

“Tidak boleh menggunakan tikar atau alas masjid di selain tempatnya secara mutlak, baik karena hajat atau tidak. Menggunakan tikar masjid untuk acara-acara pesta adalah bagian dari kemungkaran yang sangat buruk ……”
(Ibni Hajar al-Haytami, Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubro, III/288)

فتح الإله المنان 161-162
ما جمعه الساعى لعمارته ومصالح المسجد المذكور من الاموال من الذين سمحت نفوسهم ببذلها لذلك , فان نذروا بها للمسجد المذكور او تصدقوا بها عليه او وهبوها له وقبضها منهم الناظر المذكور او الذى قام بجمعها بإذن الناظر للمسجد المذكور له فى ذلك صارت تلك الاموال ملكا للمسجد …………………… وحيث قلنا بملك المسجد المذكور لتلك الاموال فان ملكها بالنذر ملكها ملكا مطلقا فيصرفها ناظره فى عمارته ومصالحه مقدما الاهم فالأهم كما هو الواجب فى كل تصرفاته . وان ملكها بالهبة او الصدقة المقبوضتين كما ذكرنا فيتعين صرفها عينت له نظير ما ذكروه كما فى التحفة وغيرها فيمن أعطى دراهم ليشتري له بها عمامة مثلا ودلت القرينة على ان قصده الصرف لما عينه له لا مجرد التبسط المعتاد انه يلزمه شراء ما ذكر بها وان ملكها لأنه ملك مقيد بصرفها فيما عينه المعطى وما زاد يملكه المسجد ملكا مطلقا ولا يرد لاربابه كما هو ظاهر .

“Harta yang dikumpulkan oleh panitia dari masyarakat secara sukarela untuk pembangunan dan kemaslahatan masjid, apabila penyumbang memberikannya dengan cara nadzar kepada masjid atau dengan cara shadaqah atau hibah dan telah diterima oleh nadhir masjid yang bersangkutan atau diterima oleh panitia dengan seizin nadhir, maka harta tersebut menjadi milik masjid. ……………….
Dan jika harta tersebut telah berstatus sebagai harata masjid maka (pentashurrufannya sebagai berikut):
1. Bila harta tersebut diberikan kepada masjid dengan cara nadzar, maka harta tersebut menjadi milik masjid secara mutlak. Nadhir boleh mentashurrufkannya untuk pembangunan ataupun kemaslahatan masjid dengan mendahulukan kebutuhan yang lebih penting sebagaimana kewajiban nadhir dalam setiap tasharrufnya.
2. Bila masjid mendapatkannya melalui hibah atau shadaqah yang telah diterima sebagaimana diatas, maka harta tersebut hanya boleh ditasharrufkan sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan oleh penyumbang. Hal ini sebagaimana keterangan para ulama’ tentang permasalahan seseorang yang memberikan beberapa dirham kepada orang lain agar digunakan untuk membeli surban misalnya dan qarinah menunjukkan bahwa tujuan pemberi memang untuk hal yang telah ia tentukan tersebut (membeli surban) bukan sekedar keleluasaan yang sebagaimana biasa, maka penerima wajib menggunakan pemberian tersebut untuk membeli surban sekalipun dirham tersebut telah menjadi miliknya karena kepemilikan tersebut adalah kepemilikan terbatas dengan tasharruf sesuai dengan ketentuan pemberi. Sedangkan jika ada kelebihannya maka menjadi milik masjid secara mutlak.”
(Sykeh Salim Sa’id Bukair Ba Ghaitsan, Fathul ilahil Mannan, h. 161-162, Darul Ma’rifah)

الفتاوى الفقهية الكبرى (3/ 155)
وَأَنَّ الْمَسْجِدَ حُرٌّ يَمْلِك فَلَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فيه إلَّا بِمَا فيه مَصْلَحَةٌ تَعُودُ عليه أو على عُمُومِ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya masjid itu merdeka sehingga ia bisa memiliki. Maka tidak diperkenankan membelanjakan harta masjid kecuali dengan hal yang didalamnya terdapat maslahah yang kembali kepada masjid atau kepada kum muslimin secara umum.” (Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz III, h. 155)

(Hasil Keputusan Bahtsul Masail MWCNU Tumpang 27 Januari 2018)

Ust. Nidhom Subkhi
Latest posts by Ust. Nidhom Subkhi (see all)

Khodim Ma'had Salafiyyah AsSyafi'iyyah Pulungdowo Malang. CEO & Founder Tafaqquh Media Center Malang. Editor in Chief Tafaqquh.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.