Shadow

Ngaji Safinah An-Najah ke-15 Fardhu-fardhu Mandi

فَصْلٌ فِي الْغُسْلِ فُرُوْضُ الغُسْلِ اثْنَانِ: النِّيَةُ وَتَعْمِيْمُ البَدَنِ بِالْمَاءِ

Mandi merupakan salah satu cara bersuci. Tujuan dari mandi ini tidak hanya memenuhi kewajiban syariat, yakni menghilangkan hadas, melainkan juga mengandung unsur sosial. Ini tercerminkan pada mandi sunah sebelum melakukan salat jumat. Alasan dianjurkan untuk melakukan mandi agar tidak mengganggu orang yang berada di sekitarnya saat melakukan salat.

Seperti halnya wudu’, dalam mandi pun ada keharusan berniat. Baik mandi wajib, atau mandi sunah, seperti mandi di hari raya. Secara umum, keharusan niat pada suatu pekerjaan digunakan untuk membedakan antara ibadah, dan kebiasaan. Mandi merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia. Untuk membedakan antara rutinitas , dan mandi yang dilakukan karena ada tuntutan syariat, maka diharuskan untuk berniat. Dalam hadis yang menjadi dasar pensyariatan niat disebutkan:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرْئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya keabsahan ibadah itu bergantung pada niatnya. Dan dia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari Muslim)

Setelah muncul perbedaan antara ibadah, dan rutinitas, Niat diperlukan untuk membedakan tingkatan ibadah. Ibadah wajib dan sunah perlu dibedakan, karena secara praktek sama, maka yang menjadi tiitk beda ada pada niatnya.

Setelah niat disesuaikan dengan mandi yang dilaksanakan, dan dilakukan bersamaan dengan pembasuhan mandi, selanjutnya  mandi itu harus meratakan aliran air ke seluruh tubuh. Entah kulit ataupun rambut. Ini berlandaskan pada hadis:

مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهُ يُفْعَلُ بِهِ كَذَا مِنَ النَّارِ

“Barang siapa yang menyisakan hadas besar pada kulit dengan tidak membasuhnya, maka Azabnya akan dilipat gandakan.”(HR. Abu-Dawud)

Dengan adanya ancaman ini pun Sayyidina Ali memendekkan rambutnya. Semata-mata untuk menghidari bagian kulit yang tidak terkena basuhan saat mandi janabah.

Bagian tubuh yang dimaksud di sini hanya sebatas yang dhahir saja. Sehingga menurut mazhab syafi’i tidak wajib untuk berkumur dan menghirup air dengan hidung, itu hanya sebatas sunnah (Minhaj At-Thalibin). Sedangkan ada ulama’ lain di antaranya Abu-Hanifah yang mewajibkan. Kewajiban ini dengan landasan hadis:

تَحْتَ كُلِّ شًعْرَةٍ جَنَابَةٌ فَبُلُّوْا الشُّعُوْرَ وَأَنْقُوْا البَشَرَةَ

“Setiap helai rambut ada hadas besar. Maka bilaslah rambut, dan bersihkan kulitkan kalian.” (HR. Abu Dawud)

Mereka mengganggap bahwa di dalam hidung terdapat rambut, dan termasuk pada perintah yang disebutkan dalam hadis tersebut. pun juga mereka menggangap bahwa mulut itu termasuk bagian dhahir, dengan alasan ketika orang puasa memasukkan barang ke mulut tanpa menelannya, tidak sampai membatalkan puasa. (Badzlu Al-Majhud 272;2 Maktabah As-Syamilah)

Mazhab Syafi’i menanggapi argumen tersebut dengan beberapa poin. Pertama hadis di atas dianggap Dhaif oleh mayoritas Ulama’. Mengingat ada perawi yang tidak diketahui pasti kepribadiannya, Yakni Al-Harist bin Wajih. sehingga hadis di atas belum bisa digunakan sebagai landasan kewajiban menghirup air dengan hidung. Kedua, bagian dalam mulut merupakan bagian batin menurut ahli bahasa. Mengingat saat seseorang berbincang tidak terlihat bagian dalamnya. Saat muncul dugaan bahwa air sudah merata kesuluruh tubuh, maka Istilah mandi secara syar’i sudah tercapai, dan hadas besar pun hilang. Karena mandi secara Syar’i diartikan sebagai mengalirkan air kesuluruh tubuh, dengan niat yang telah ditentukan.

Muhtaddin Rahayu-Mahasantri Mahad Aly An-Nur II

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.