LIMA QOIDAH KULLIYAH; PANCASILANYA FIQIH
Tafaqquh.com- Qoidah kulliyah yang dimaksud disini adalah qoidah fiqih yang bisa diterapkan atau berlaku secara umum disetiap bab atau masalah yang dibahas di dalam fiqih.
Bisa pula dijelaskan, bahwa qoidah kulliyah adalah qoidah yang tidak berada dibawah qoidah yang lain. Akan tetapi sebaliknya, dibawah qoidah ini banyak qoidah-qoidah yang lain yang menjadi butir-butir qoidah. Ya…. Seperti pancasila yang penulis ingat pada waktu penataran P4 dulu awal masuk SMP atau SMA. Dimana setiap sila merupakan dasar yang dibawahnya ada butir-butir pancasila. Lalu dijelaskan dalam UUD 1945 lalu UUD di jelaskan dalam penjelasan lalu dijabarkan lagi di …. dan seterusnya dengan hierarki yang cukup jelas menurut penulis waktu itu. Sekalipun sekarang sudah mulai kabur dan remang-remang.
Begitulah kira-kira gambaran qoidah kulliyah dalam fiqih. Dan kebetulan lagi, para Ulama’ mendasarkan fiqih pada lima qoidah atau lima dasar. Maka dari itu, dalam judul kami tulis “pancasilanya Fiqih”.
Ada banyak qoidah yang menjadi rujukan masalah-masalah fiqih. Namun ada lima qoidah dasar yang menjadi induk dari hampir semua permasalah fiqih.
Qoidah-qoidah tersebut merupakan hasil eksplorasi serta penelitian yang mendalam atas sumber sekaligus muara hukum Islam. Artinya, lima qoidah ini menjadi semacam kesimpulan hukum dari berbagai masalah yang ada dalam fiqih yang kemudian dicari titik persamaannya, lalu dirunut ke atas hingga ke sumber hukum tersebut. (lebih jelasnya silahkan lihat tulisan kami sebelumnya; beda fiqih, ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah)
Kisah dibalik lima qoidah dasar
Ada cerita yang menarik sehubungan dengan munculnya lima qoidah dasar ini. Cerita ini disampaikan oleh Al-Imam Tajuddin As-Subki dalam kitabnya Al-Asybah Wan Nadhoir, juga diceritakan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab yang punya judul sama dengan kitab As-Subki.
Bermula dari kisah yang disampaikan oleh al-Qodli Abu Sa’id al-Harowi (w.537) yang menceritakan bahwa sebagian ulama’ dari kalangan Hanafiyah menceritakan kepada Abu Sa’id bahwa seorang Imam madzhab Hanafiyah yang bernama Abu Thohir Ad-Dabbas telah berhasil mengembalikan semua permasalah fiqih dalam madzhab Hanafiyah ke dalam 17 qoidah.
Didorong oleh rasa penasaran serta haus akan ilmu, Abu Sa’id bergegas menuju tempat bermukimnya Abu Thohir Ad-Dabbas.
Sesampainya ditempat Abu Thohir, beliau mendapati bahwa Abu Thohir adalah seorang tuna netra. Setiap malam, setelah masjidnya sepi, Abu Thohir mengulang-ulang qoidah yang telah ia susun. Hal ini sesuai dengan cerita yang didapat oleh Abu Sa’id.
Demi mendengar qoidah-qoidah tersebut Abu Sa’id bersembunyi dengan cara berselimut tikar. Lalu, Abu Thohir menutup semua pintu masjid dan mulailah beliau membaca satu persatu qoidah-qoidahnya. Disaat Abu Thohir sampai pada qoidah ke tujuh, Abu Sa’id bersin. Maka marahlah Abu Thohir dan segera beliau mencari dimanakah orang yang bersumbi dan secara diam-diam telah mendengarkan qoidah-qoidahnya. Hingga pada akhirnya Abu Said keluar dari masjid tersebut dan kembali ke sahabat-sahabatnya dan beliau menyampaikan 7 qoidah yang tadi beliau dengar dari Abu Thohir.
Ketika cerita ini sampai kepada Al-Qodli Husain, maka beliaupun membuat qoidah – qoidah sebagai rujukan madzhab Syafii. Qoidah yang disusun oleh Qodli Husain berjumlah empat qoidah.
Empat qoidah tersebut adalah:
1. Al-Yaqin la yuzaalu bis syakk (yakin tidak bisa dihilangkan oleh ragu-ragu)
2. Al-Masyaqqotu tajlibut taysir (kesulitan menarik kemudahan)
3. Ad-Dloror yuzal (bahaya itu dihilangkan)
4. Al-‘Adah muhakkamah (adat itu bisa menjadi ketetapan hukum)
Empat Qoidah ini dapat diterima secara luas oleh para fuqoha’. Sekalipun demikian,menjadikan empat qoidah ini sebagai empat pilar utama dalam fiqih masih mendapat banyak kritikan dari para ulama’.
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa menjadikan empat qoidah ini sebagai pilar utama fiqih masih perlu dipertimbangkan. Karena banyak sekali permasalah fiqih yang tidak bisa dikembalikan pada qoidah tersebut kecuali dengan cara takalluf (memaksakan).
Untuk melengkapinya, sebagian ulama’ menambahkan satu qoidah yaitu; al-umuuru bi maqoshidiha (semua urusan itu tergantung tujuannya).
Menurut al-‘Alai (w. 761 H.), Penambahan ini sangat bagus karena qoidah tersebut didasarkan pada hadits Nabi “innamal a’maalu binniyyaati” yang masyhur. Sedangkan hadits tersebut menurut Imam Syafi’i merupakan sepertiga ilmu.
Mengenai lima Qoidah dasar ini, Imam Tajuddin As-Subki berpendapat:
“Menurutku, jika yang dikehendaki adalah mengembalikan semua permasalah fiqih kepada lima qoidah ini, maka itu adalah ta’assuf (mempersulit) dan takalluf (pemaksaan) serta terlalu general.
Qoidah yang kelima (al-umuru bimaqoshidiha) bisa saja dimasukkan pada qoidah yang pertama (al-yaqin la yuzaalu bissyakk), juga bisa masuk pada qoidah yang ke tiga (ad-dloror yuzal). Bahkan Syaikhul Islam Izzuddin bin Abdissalam mengembalikan semua permasalah fiqih hanya kepada satu qoidah “I’tibarul masholih wa dar’ul mafasid” (mempertimbangkan maslahah (kebaikan) dan mencegah mafsadah (kerusakan). Bahkan andaikata didesak, beliau bisa saja mengembalikan fiqih hanya kepada separuh dari qoidah diatas yaitu I’tibarul masholih. Karena dar’ul mafasid atau mencegah kerusakan adalah bagian dari I’tibarul masholih. Atau bisa pula dikembalikan dar’ul mafasid saja karena jalbul masholih adalah bagian dari mencegah keburukan.
Dan jika yang diinginkan dari qoidah-qoidah ini adalah penempatan qoidah secara jelas dan proporsional maka sesungguhnya bisa lebih dari lima puluh qoidah bahkan dua ratus qoidah.” (as-Subki, Al-Asybah wan Nadhoir; I/22)
Apa yang disampaikan oleh As-Subki ini tidaklah membantah keabsahan qoidah-qoidah tersebut. Hanya saja beliau tidak sependapat jika semua masalah fiqih bisa dijawab dengan lima qoidah tersebut. Kecuali jika dengan logika yang dipaksakan, maka tidak hanya lima qoidah saja, bahkan satu atau separuh (jawa; setugel) qoidah saja sudah cukup. Tapi sekali lagi, itu adalah pemaksaan.
Namun tampaknya apa yang disampaikan oleh as-Subki ini diamini oleh semua ulama’. Hal ini paling tidak bisa dibuktikan dari kitab-kitab qowa’id yang ditulis oleh para ulama’, semuanya tidak hanya menjelaskan lima qoidah dasar itu saja. Para ulama juga tidak bersusah payah merasionalkan setiap bab dalam fiqih agar sejalan dengan lima qoidah tersebut.
Lihat saja al-Asybah wan Nadhoirnya imam As-Suyuthi, Qowa’idnya ibn Mulaqqin, al-faroidul Bahiyahnya al-Ahdali hingga al-Mantsurnya Az-Zarkasyi serta masih banyak yang lain. Semuanya tidak mencukupkan diri dengan lima qoidah dasar ini saja, akan tetapi masih banyak qoidah-qoidah yang lain yang beliau masukkan dalam kitab-kitab tersebut yang kalau dihitung jumlahnya bisa mencapai ratusan seperti yang disampaikan oleh as-Subki di atas.
Dan melalu tafaqquh.id ini, kita akan mencoba belajar kembali menggali khazanah intelektualitas yang sangat berharga ini.
Insya Allah akan kami turunkan pembahasan qoidah secara rinci, dimulai dari lima qoidah diatas satu persatu secara rinci.
Karena itu do’a para pembaca sangat kami harapkan agar kami, tim redaksi, penulis, editor, tukang gambar, tukang kopi, tukang kompor, tukang sapu, dan semua yang berada di “garis edar” tafaqquh.id diberi kesehatan, serta istiqomah berdampingan dengan anda semua dalam bertafaqquh fidiin. Mugi Allah ngijabahi.
Amiin ….
Wallahu a’lam bisshowab
Salam sejuk dari balik gubuk pesantren as-syafiiyah
2 Rojab 1439 H
Nidhom Subkhi
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019