tafaqquh.id – Agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Agama adalah pondasi sedangkan negara adalah penjaga. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali dalam kaya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin.
إحياء علوم الدين (1/ 17)
-
لمعاد ليتناول منها ما يصلح للتزود فلو تناولوها بالعدل لانقطعت الخصومات وتعطل الفقهاء. ولكنهم تناولوها بالشهوات فتولدت منها الخصومات, فمست الحاجة إلى سلطان يسوسهم واحتاج السلطان إلى قانون يسوسهم به. فالفقيه هو العالم بقانون السياسة وطريق التوسط بين الخلق إذا تنازعوا بحكم الشهوات فكان الفقيه معلم السلطان ومرشده إلى طرق سياسة الخلق وضبطهم لينتظم باستقامتهم أمورهم في الدنيا ولعمري إنه متعلق أيضا بالدين لكن لا بنفسه بل بواسطة الدنيا فإن الدنيا مزرعة الآخرة ولا يتم الدين إلا بالدنيا
والملك والدين توأمان فالدين أصل والسلطان حارس وما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان وطريق الضبط في فصل الحكومات بالفقه
وكما أن سياسة الخلق بالسلطنة ليس من علم الدين في الدرجة الأولى بل هو معين على ما لا يتم الدين إلا به فكذلك معرفة طريق السياسة
Bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda
الإسلام والسلطان أخوان توأمان لا يصلح واحد منهما إلا بصاحبه فالإسلام أس والسلطان حارس وما لا أس له يهدم وما لا حارس له ضائع (الديلمى عن ابن عباس) أخرجه الديلمى (1/117 ، رقم 396)
Islam dan sulthon (pemerintahan) adalah dua saudara kembar. Masing-masing tidak akan berjalan baik kecuali bersama dengan yang lain. Islam adalah pondasi dan pemerintahan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan runtuh. Dan sesuatu tanpa penjaga akan musnah. (hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailami, I/117. Lihat al-Jami’ul Kabir karya as-Suyuthi dan Kanzul Ummal karya al-Muttaqiy al-Hindy)
Jadi jelaslah bahwa agama dan negara adalah dua hal yang berbeda namun saling melengkapi dan saling membutuhkan. Untuk menjalankan perintah agama kita butuh tempat yang aman dan damai. Keamanan dan kedamaian hanya bisa diwujudkan dengan negara yang kuat. Tatanan negara yang baik adalah tatanan negara yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan bersama.
Apakah bentuk negara harus khilafah?
Menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tidak ada nash shorih yang mengatur bentuk negara. Baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits. Seandainya bentuk negara (khilafah) merupakan bagian dari syariat Islam yang baku, tentu secara khusus dan tegas al-Qur’an akan menjelaskannya. Al-Qur’an justru menyampaikan penilaiannya terhadap baik dan buruknya para penguasa secara personal. Demikian pula hadits Rasulullah ﷺ.
2. Rasulullah ﷺsudah menyatakan bahwa khilafah akan berakhir setelah 30 tahun pasca meninggalnya Beliau ﷺ.
الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا
Khilafah setelahku adalah tiga puluh tahun kemudian menjadi kerajaan.
(Shahih Ibnu Hibban dengan takhrij Syekh al-Arnauth, menurutnya hadits ini hasan)
Terbukti masa khulafaur rasyidun adalah tiga puluh tahun. Sayyidina Abu Bakar dua tahun, Sayyidina Umar sepuluh tahun, Sayyidina Utsman dua belas tahun dan Sayyidina Ali enam tahun.
Setelah berakhirnya kekhalifahan Sayyidina Ali dan sayyidina Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan maka berakhirlah masa kekhalifahan. Muawiyah adalah orang pertama yang mendeklarasikan dirinya sebagai raja. Mua’wiyah berkata, “Aku adalah raja pertama”. Dan setelah Mu’awiyah meninggal, suksesi pemerintahan berjalan sebagaimana layaknya kerajaan di eropa waktu itu, yakni beralih menjadi sebuah dinasti yang turun temurun. (lihat, Syekh Nawawi al-Bantani, Syarah Tijan Ad-durari, 15)
3. Pembentukan negara merupakan persoalan siyasah yang teknisnya disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Inti dari siyasah Islam adalah mencapai sebanyak-banyaknya kemaslahatan dan menolak sebanyak-banyaknya kemadlarratan.
Ibnul Qoyyim al-Jauzi dalam At-Thuruqul Hukmiyah dengan menukil pendapat Ibnu Aqil menyatakan bahwa
السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس اقرب الى الصلاح وأبعد عن الفساد وان لم يضعه الرسول ولا نزل به الوحي
“Siyasah adalah segala hal yang bisa membawa manusia sedekat-dekatnya kepada maslahah dan membawa sejauh-jauhnya dari mafsadah sekalipun tidak digariskan oleh Rasulullah tidak pula ada wahyu yang diturunkan” (At-Thuruqul Hukmiyah, 13-14)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami (VI/573).
Dari sini kiranya dapat dipahami bahwa Islam tidak menuntut bentuk negara tertentu. Bentuk negara merupakan prosese siyasah yang tentunya tidak hanya melibatkan satu golongan saja. Karena itu bentuk negara disesuaikan dengan kondisi dan situasi dimana negara tersebut didirikan. Islam memberi garis tegas bahwa negara hendaknya didikan dalam rangka melindungi praktek keagamaan dan mendapatkan sebanyaknya kemaslahatan dan menghinadari sejauhnya kemadlaratan.
Wassalam.
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019