Tafaqquh.com- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Ia berkata :
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah melihat Nabi SAW menyengaja berpuasa di suatu hari yang beliau utamakan dari hari lainnya melainkan hari ini yakni hari Asyura dan bulan ini yakni bulan ramadhan. [HR Bukhari]
Asyura Yang Mulia
Dua hari lagi tepatnya pada hari Kamis, 20 September 2018 kita akan sampai pada hari Asyura. Hal itu berdasarkan penetapan 1 muharram dimana PBNU melalui Lembaga Falakiyah mengumumkan bahwa berdasarkan rukyatul hilal maka Selasa, 11 September 2018, kalender qamariyah adalah 1 Muharram tahun baru 1440 Hijriah. [Situs resmi NU]
Hari Asyura menjadi istimewa karena Rasul SAW sendiri menyengaja berpuasa pada hari itu yang mana beliau utamakan dari hari lainnya. Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa hari asyura adalah hari terbaik setelah ramadhan untuk berpuasa. Pemahaman ini sejalan dengan sabda Rasul SAW:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram.”[HR Muslim]
Mana Yang Lebih Utama? Asyura Atau Arafah?
Jika memang demikian maka apakah tidak terjadi kontradiksi dengan hadits berikut, Abu Qatadah Al-Anshari berkata :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Nabi SAW ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” [HR Muslim]
Hadits Abu Qatadah ini mengisyaratkan hal sebaliknya yaitu puasa arafah lebih baik dari pada puasa Asyura yang mana hal ini dipahami dari ukuran pahalanya. Dalam hadits tersebut, puasa hari arafah lebih besar pahalanya (melebur dosa 2 tahun) dari pada pahala puasa Asyura (melebur dosa 1 tahun).
Menjawab kerancuan ini, Ibnu Hajar al-Atsqalani berkata :
إِنَّ يَوْمَ عَاشُورَاء مَنْسُوبٌ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام وَيَوْمَ عَرَفَة مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِذَلِكَ كَانَ أَفْضَلَ .
Hari Asyura dinisbatkan kepada Nabi Musa AS sedangkan hari Arafah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW maka dari itulah puasa Arafah lebih banyak pahalanya [Fathul Bari]
Dari mulianya hari asyura, hari itu pernah diwajibkan berpuasa oleh Rasul SAW. Imam Haramain dalam kitabnya, menuqil keterangan dari Muadz bin jabal RA yang berkata :
فُرض صوم يوم عاشوراء، ثم نسخ وجوبه، وفُرض صيام ثلاثة أيامٍ من كل شهر، وهي الأيام البيض، ثم نسخت فرضيتُها بصوم رمضان
Puasa hari Asyura dahulu diwajibkan kemudian dihapus kewajiban itu dan diwajibkanlah puasa tiga hari setiap bulan yakni pada ayyamul Bidl (13,14,15 Bulan Hijriyah) kemudian dinasakh (hapus) dengan diwajibkannya puasa bulan ramadhan [Nihayatul Mathlab]
Puasa Istri
Namun demikian penting dan mulianya puasa hari asyura, bagi seorang istri haruslah mendapat ijin dari suaminya sebab Rasul SAW bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[HR Bukhari]
Mayoritas ulama memahami larangan hadits ini sebagai keharaman. Maka haram hukumnya seorang istri berpuasa tanpa ijin suaminya jika suaminya ada di rumah dan ia tidak berpuasa hari itu. Jika si istri bersikukuh untuk berpuasa tanpa ijin maka puasanya tetap sah namun tidak mendapat pahala. Rasul SAW bersabda :
وَمِنْ حَقّ الزَّوْج عَلَى زَوْجَته أَنْ لَا تَصُوم تَطَوُّعًا إِلَّا بِإِذْنِهِ ، فَإِنْ فَعَلَتْ لَمْ يُقْبَل مِنْهَا
Termasuk hak suami atas istrinya adalah si istri tidak berpuasa sunnah kecuali mendapat ijin darinya, jika sang istri tetap berpuasa tanpa ijinnya maka puasanya tidak diterima (oleh Allah swt) [HR Thabrani]
Mengapa demikian?, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ حَقّ الزَّوْج آكَد عَلَى الْمَرْأَة مِنْ التَّطَوُّع بِالْخَيْرِ ، لِأَنَّ حَقّه وَاجِب وَالْقِيَام بِالْوَاجِبِ مُقَدَّم عَلَى الْقِيَام بِالتَّطَوُّعِ
“Dalam hadits tersebut terdapat pemahaman bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban sedangkan menjalankan perkara wajib tentunya didahulukan dari menjalankan ibadah sunnah.” [Fathul Bari]
Selanjutnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : dipahami (secara mafhum mukhalafah) dari hadits tersebut bahwa seorang istri boleh berpuasa sunnah tanpa ijin jika suaminya bepergian. Dan Jika suami datang di siang hari maka boleh sang istri membatalkan puasanya tanpa makruh. [Fathul Bari]
Membatalkan Puasa Sunnah Karena Bertamu
Boleh juga membatalkan puasa sunnah ketika bertamu dan disuguhi makanan bahkan sunnah baginya membatalkan puasanya jika seandainya ia tidak memakan suguhan tersebut dapat menyinggung perasaan tuan rumahnya. Bahkan menurut Imam Syafi’i secara muthlaq sunnah membatalkan puasa sunnahnya tanpa pertimbangan ada atau tidaknya ketersinggungan tuan rumah. [I’anatut Thalibin] dalam faidah disebutkan :
من تلبس بصوم تطوع أو صلاته فله قطعهما
Barang siapa melakukan puasa sunnah atau sholat sunnah maka boleh baginya untuk memutuskan puasa atau sholatnya tersebut. [Fathul Mu’in] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melakukan ibadah sesuai ilmu dan ajaran-Nya.
Salam Satu Hadits,
Dr.H.Fathul Bari Alvers, SS., M.Ag
- TINGKATAN NAFSU MANUSIA - Mei 7, 2019
- NAFSUMU MUSUHMU - Mei 6, 2019
- DOA UNTUK ANJING - Mei 5, 2019