Shadow

Hindari Sebelas Perkara Berikut! Niscaya Kamu Terhindar dari Perbuatan Ghibah

Ghibah adalah menyebutkan kejelekan orang lain, yang seandainya orang yang dibicarakan mendengar tidak meyukainya. Hal ini mencakup menyebutkan kekurangan -baik terkait tubuh, nasab, akhlak, perbuatan, ucapan, agama, atau urusan dunianya- bahkan hingga hal-hal seperti pakaian, rumah, atau kendaraanya.

Contoh ghibah yang berkaitan dengan tubuh seseorang adalah dengan menyebutkan bahwa matanya juling, rambutnya sering rontok, tubuhnya pendek atau terlalu tinggi, warna kulitnya gelap, dan hal-hal lain yang tidak ia sukai.

Pengertian ini selaras dengan hadis Nabi Muhammad SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رضي الله عنه، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «‌هَلْ ‌تَدْرُونَ ‌مَا ‌الْغِيبَةُ؟» قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ» قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ»

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?’ Mereka menjawab, ‘Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang tidak ia sukai.’ Lalu salah satu sahabat bertanya  ‘Bagaimana bila yang aku katakan itu benar-benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila yang engkau katakan benar-benar ada padanya, maka engkau telah menggunjingnya. Namun, apabila apa yang engkau katakan tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.’” (HR. Muslim).

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’u Ulumiddin menjelaskan sebab-sebab yang mendorong seseorang untuk ghibah. Beliau menjelaskan bahwa sebab-sebab tersebut sangatlah banyak, namun dapat diringkas menjadi sebelas sebab. Delapan di antaranya berlaku bagi kebanyakan orang (orang awam), sedangkan tiga lainnya berlaku bagi kalangan ahli agama (orang-orang khusus).

Delapan sebab tersebut di antaranya:

Pertama, melampiaskan amarah. Hal ini terjadi saat seseorang merasa marah karena suatu sebab, maka untuk melampiaskan kemarahannya ia menyebut keburukan orang lain. Penyebutan keburukan tersebut ia lakukan secara alami dan spontan, kecuali apabila ia merupakan seseorang yang paham agama dan mengamalkannya, maka hal ini bisa mencegahnya.

Terkadang amarah tidak dilampiaskan secara langsung, terpendam di dalam hati, lalu berubah menjadi dendam yang terus-menerus. Dendam ini menjadi sebab utama seseorang terus-menerus menyebutkan keburukan orang lain. Maka, dendam dan amarah merupakan penyebab utama ghibah.

Kedua, ikut-ikutan teman dan menyenangkan mereka. Hal ini terjadi saat seseorang ingin menyesuaikan diri dengan teman-temannya yang membicarakan keburukkan orang lain. Dia merasa apabila menegurnya atau meninggalkan tongkrongan tersebut, teman-temannya merasa tidak nyaman dengannya dan menjauhinya. Sehingga, ia ikut serta dalam pembicaraan tersebut demi menjaga hubungan baik dan merasa itu adalah bagian dari pergaulan.

Terkadang teman-temannya marah terhadap seseorang, lalu ia merasa perlu menunjukkan solidaritas dengan ikut marah. Ia pun ikut serta membicarakan keburukan orang tersebut.

Ketiga, merasa bahwa seseorang akan menyerangnya dengan perkataan, mencemarkan nama baiknya di depan orang yang dihormati, atau bersaksi buruk tentangnya. Maka, ia segera mencemarkan nama baik orang tersebut terlebih dahulu. Tujuannya supaya pengaruh kesaksiannya berkurang.

Atau ia memulai dengan menyebutkan sesuatu yang benar tentang orang tersebut agar setelahnya bisa berbohong tentangnya. Dengan demikian, kebohongannya menjadi terlihat benar karena didukung oleh kebenaran sebelumnya. Salah satu contohnya adalah dengan berkata, “Aku tidak pernah berbohong. Aku sudah memberitahu kalian terkait dirinya dan terbukti benar.”

Keempat, yakni saat seseorang dituduh melakukan sesuatu, lalu untuk menghindari tuduhan tersebut ia menyebutkan bahwa yang melakukannya adalah orang lain. Atau, ia menyebutkan bahwa ada orang lain yang turut serta dalam melakukannya, dengan tujuan untuk memberikan alasan atau pembenaran atas tindakannya sendiri. Seharusnya yang ia lakukan adalah membela dirinya tanpa menyebutkan orang lain yang melakukannya.

Kelima, keinginan untuk pamer dan berbangga diri. Hal ini terjadi saat seseorang ingin meninggikan dirinya dengan merendahkan orang lain. Yakni dengan ia berkata, “Fulan adalah orang bodoh, pemahamannya dangkal, dan ucapannya lemah.”

Tujuannya supaya ia terlihat lebih unggul dibandingkan orang tersebut dan menunjukkan bahwa ia lebih berilmu. Bisa jadi juga, ia merasa khawatir orang lain akan dihormati atau diagungkan seperti dirinya, sehingga ia mencela orang itu demi menjatuhkan kedudukannya.

Keenam, hasud atau iri hati. Artinya, terkadang seseorang merasa iri terhadap orang yang dipuji, dicintai, dan dihormati oleh orang lain. Ia ingin kenikmatan tersebut hilang dari orang tersebut. Karena tidak menemukan cara lain untuk mencapainya, sehingga ia mencelanya supaya martabatnya di mata orang lain jatuh. Dengan demikian, orang-orang berhenti menghormatinya dan memujinya.

Hal ini merupakan hakikat dari hasud. Hasud merupakan tingkah laku yang berbeda dengan kemarahan dan dendam, karena kemarahan dan dendam biasanya muncul akibat tindakan buruk orang yang dibenci. Sedangkan hasud dapat terjadi terhadap teman baik atau seseorang yang berbuat baik kepadanya.

Ketujuh, bermain-main, bercanda, dan mencari hiburan. Terkadang seseorang mengisi waktu luangnya dengan tertawa-tawa dan menyebutkan kekurangan orang lain untuk membuat orang-orang tertawa. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara meniru atau memparodikan orang lain.

Kedelapan, menghina dan mengejek sebagai bentuk merendahkan orang lain. Hal ini bisa terjadi di hadapan orangnya langsung atau di belakangnya. Penyebab utamanya adalah kesombongan dan sikap meremehkan orang yang dijadikan sebagai bahan ejekan.

Adapun tiga sebab yang hanya terjadi pada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama. Penyebab ini lebih samar dan halus, karena merupakan keburukan yang disamarkan oleh setan dalam bentuk kebaikan. Benar terdapat unsur kebaikan, namun setan mencampurnya dengan keburukan.

Tiga sebab tersebut di antaranya:

Pertama, adanyadorongan dari agama yang memunculkan rasa kagum dalam mengingkari kemungkaran dan kesalahan dalam agama. Salah satu contohnya adalah perkataan, “Saya heran terhadap Fulan, bagaimana mungkin ia menyukai budaknya yang buruk rupa?”

Bisa jadi yang ia lakukan benar dan rasa kagumnya muncul dari kemungkaran, namun yang seharusnya ia lakukan adalah merasa kagum tanpa menyebutkan nama orang tersebut. Setan memudahkannya untuk menyebutkan nama orang tersebut dengan dalih memperlihatkan kekagumannya, sehingga ia menjadi orang yang melakukan ghibah dan berdosa tanpa ia sadari.

Kedua, rasa kasih sayang. Yakni seseorang merasa sedih karena musibah yang menimpa orang lain dan berkata, “Kasihan sekali Fulan, saya benar-benar prihatin dengan keadaannya dan cobaan yang ia alami.” Bisa jadi yang ia lakukan berupa rasa prihatin dan belas kasihan merupakan kebenaran, namun kesedihannya membuatnya lengah untuk menjaga diri dari menyebut nama orang tersebut.

Saat menyebut nama tersebut, ia menjadi orang yang melakukan ghibah. Dengan demikian, rasa prihatin dan belas kasihnya yang awalnya baik berubah menjadi buruk. Sebab adanya godaan setan yang tidak ia sadari. Padahal, rasa prihatin dan belas kasih tersebut bisa dilakukan tanpa menyebutkan namanya. Setan membujuknya untuk menyebutkan namanya supaya pahala dari rasa prihatin dan belas kasihnya menjadi hangus.

Ketiga, marah karena Allah SWT. Terkadang seseorang marah saat melihat kemungkaran yang dilakukan orang lain, baik ia menyaksikannya secara langsung maupun mendengarnya dari orang lain.

Ia kemudian melampiaskan kemarahannya dengan menyebut nama orang yang melakukan kemungkaran. Padahal, seharusnya ia menunjukkan kemarahannya dengan cara yang sesuai, yaitu melalui amar ma’ruf nahi munkar, tanpa menyebut nama orang tersebut kepada pihak lain. Atau apabila memang perlu disebutkan, ia harus menjaga agar nama itu tidak digunakan untuk menyebarkan keburukan.

Ketiga macam ghibah di atas sering kali sulit disadari oleh para ulama, apalagi oleh orang-orang awam. Banyak yang beranggapan bahwa rasa takjub, belas kasih, dan kemarahan karena Allah SWT menjadi alasan yang dibolehkan untuk menyebut nama orang lain. Padahal, anggapan ini salah.

Dicky Feryansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.