Pernahkah kita berpikir mengapa dulu orang tua menyuruh kita menjalankan puasa Bedug? Padahal, secara Fikih, itu tidak dianggap sebagai puasa karena hanya dilakukan setengah hari (dari subuh hingga Zuhur). Bahkan, mungkin kita juga sempat menyesal menuruti perintah itu karena pada akhirnya kita tidak mendapat pahala puasa.
Namun, mari hilangkan pikiran itu! Apa yang dulu kita anggap tidak berarti ternyata memiliki manfaat besar. Coba renungkan! Kita bisa berjalan dan berbicara karena latihan, bukan? Begitu pula dengan puasa. Kita tidak akan mampu menahan lapar dan dahaga seharian penuh tanpa adanya pembiasaan terlebih dahulu. Nah, puasa Bedug lah yang menjadi sarana latihan kita. Barang kali, ini alasan mereka menyuruh kita melakukannya; sebagai tahap awal agar kita siap menjalankan puasa penuh saat beranjak balig.
Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana pandangan Fikih terhadap praktik orang tua yang menyuruh anaknya berpuasa Bedug? Apakah hal ini dibenarkan atau justru tidak? Mari kita bedah!
Secara dasar, hadis Nabi hanya menjelaskan bahwa wali atau orang tua memiliki kewajiban mendidik anak dalam menjalankan salat. Rasulullah bersabda:
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
Artinya: “Perintahkan anak untuk melaksanakan salat saat menginjak usia tujuh tahun, dan pukullah jika mereka meninggalkan salat saat memasuki usia sepuluh tahun.” [HR. Abu Dawud]
Dalam hadis ini, Nabi memerintahkan orang tua untuk menyuruh anak salat ketika sudah tamyiz (mandiri) yang rata-rata terjadi sejak usia tujuh tahun ke atas dan memberikan hukuman jika mereka membangkang di usia sepuluh tahun. Para ulama memahami bahwa perintah ini adalah suatu kewajiban. [Ibnu Hajar, Tuhfah al-Mukhtaj, (Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra: 1983) juz. 1, hlm. 450].
Namun sebelum itu, ada yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu mengajari mereka tata cara salat. Logikanya, Bagaimana mungkin menyuruh anak melakukan sesuatu yang belum ia pahami. Oleh karena itu, sebelum menyuruh anak salat, orang tua wajib mengajarkan terlebih dahulu cara melaksanakannya. [Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ukhwadzi, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah: tt.) juz.2, hlm. 370].
Kemudian, para ulama melakukan qiyas (analogi) dengan menyamakan hukum menyuruh anak berpuasa terhadap kewajiban menyuruh anak salat karena keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama ibadah yang kelak menjadi kewajiban bagi anak setelah balig. Secara sederhana, analogi ini bisa disusun dalam bentuk premis sebagai berikut:
+ Orang tua wajib memerintahkan anak untuk salat, karena salat adalah ibadah yang akan menjadi
kewajiban ketika anak balig.
+ Puasa juga merupakan ibadah yang kelak menjadi kewajiban bagi anak setelah balig.
+ Kesimpulan: Orang tua wajib memerintahkan anak untuk berpuasa sebagaimana mereka wajib memerintahkan anak untuk salat. [Zakariya al-Anshari, Mihnah al-bari, bi Syarhi Shahih Bukhari, (Saudi: Maktabah al-Rusyd: 2005) juz.4, hlm. 403].
Namun, sebagaimana halnya dalam perintah salat, ada satu tahap penting sebelum menyuruh anak berpuasa, yaitu mengajarkan dan melatihnya terlebih dahulu. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia memiliki tradisi unik dalam mengenalkan puasa kepada anak-anak, yaitu dengan melatih mereka berpuasa setengah hari—yang dikenal sebagai “Puasa Bedug“
Selain itu, orang tua juga harus mempertimbangkan kondisi fisik anak. Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarh Muhadzzab menjelaskan:
وَإِذَا أَطَاقَ الصَّوْمَ وََجَبَ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يَأْمُرَهُ بِهِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مُمَيِّزًا وَيَضْرِبُهُ عَلَى تَرْكِهِ لِعَشْرٍ لِمَا ذَكَرَهُ المُصَنِّفُ وَالصَّبِيَّةُ كَالصَّبِيِّ فَيْ هَذَا كُلِّهِ بِلَا خِلَافٍ
Artinya: “Jika anak kecil mampu melakukan puasa, maka wajib bagi wali untuk memerintahnya berpuasa pada usia tujuh tahun, dengan syarat anak sudah tamyiz (mandiri), dan memukulnya jika ia meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Hal ini berlaku bagi anak laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan pendapat”
Dari keterangan tersebut juga dapat dipahami, sebelum memerintahkan anak untuk berpuasa Bedug, orang tua harus memperhatikan kondisi fisik anak, sebagaimana mereka harus mempertimbangkan kondisi fisik anak sebelum memerintah mereka berpuasa satu hari penuh.
Nah, berdasarkan keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa praktik orang tua yang menyuruh anaknya menjalankan puasa Bedug memiliki landasan dalam fikih. Jika anak telah mencapai usia tujuh tahun, sudah mandiri, serta tidak dikhawatirkan mengalami bahaya, maka membiasakan mereka berpuasa, meskipun hanya setengah hari, merupakan langkah pendidikan yang baik.
Wallahua’lam
Ahmad Bisri Fanani
- Menyuruh Anak untuk Puasa Bedug, Apakah Dibenarkan? - Februari 27, 2025
- Hindari Sebelas Perkara Berikut! Niscaya Kamu Terhindar dari Perbuatan Ghibah - Januari 25, 2025
- Bermedia Sosial Dalam Timbangan Islam - Oktober 13, 2024