Shadow

KISAH DZUL YADAIN DAN ISTINBATH HUKUM TENTANG LUPA

Oleh: Nidhom Subkhi.

Dzul Yadain adalah nama seorang sahabat yang sering kita dengar manakala kita membicarakan seputar masalah lupa dalam sholat. Nama aslinya adalah al-Khirbaq, disebut Dzul Yadain yang berarti pemilik dua tangan karena beliau mempunyai tangan yang panjang. Dalam tulisan ini kita akan mengkaji hadits Dzul Yadain tersebut serta menambahkan keterangan yang telah diberikan oleh para ulama’ berkenaan dengan istinbath yang dilakukan oleh para mujtahid dari hadist tersebut. Kita akan mendapati bahwa para fuqoha dengan segala kemampuannya berhasil menemukan banyak hukum berkenaan dengan hal tersebut.

Berikut adalah kisah Dzul Yadain sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ قَالَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ سَمَّاهَا أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَكِنْ نَسِيتُ أَنَا قَالَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَوَضَعَ خَدَّهُ الْأَيْمَنَ عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَخَرَجَتْ السَّرَعَانُ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالُوا قَصُرَتْ الصَّلَاةُ وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيْهِ طُولٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتْ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ فَقَالَ أَكَمَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالُوا نَعَمْ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَا تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ فَرُبَّمَا سَأَلُوهُ ثُمَّ سَلَّمَ فَيَقُولُ نُبِّئْتُ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ ثُمَّ سَلَّمَ

Hadits yang pertama dari Muhammad bib Sirin dari Abi Huroiroh RA.

Beliau berkata ” Rosululloh sholat dengan kami salah satu sholat sore hari (dhuhur atau ashar rowi ragu-ragu), ibnu Sirin berkata: Abu Huroiroh menyebutkan nama sholat tersebut tapi aku lupa (sholat apa yang dimaksud). Kemudian beliau sholat dengan kami dua roka’at kemudian salam, lalu Rosululloh berdiri  (dan berjalan) menuju sebuah kayu yang melintang di dalam masjid. Kemudia beliau bersandar diatasnya seakan-akan beliau sedang murka. Rosululloh SAW meletakkan tangan kanannya dan beliau merapatkan jari-jarinya. Orang-orang yang tergesa-gesa keluar dari pintu-pintu masjid dan mereka berkata: ” sholatnya pendek (diqoshor)”. Di dalam kaum itu terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya segan untuk bertanya pada Rosul SAW. Ada seseorang yang mempunyai tangan yang panjang, ia disebut Dzul yadain, ia bertanya kepada Rosululloh SAW: “Ya Rosululloh apakah engkau lupa ataukah sholatnya di qoshor?”. Rosululloh SAW menjawab: ” aku tidak lupa, dan sholat nya tidak di qoshor”. Lalu Rosululloh bertanya (kepada orang-orang yang hadir): “Apakah seperti yang dikatakan Dzul Yadain?”. Para shohabat menjawab: “Benar”. Maka Rosululloh maju lalu sholat (melakukan) apa yang beliau telah tinggalkan, kemudian salam. Lalu, beliau bertakbir dan bersujud seperti sujudnya (dalam sholat) atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala dan takbir lalu sujud sebagaimana beliau bersujud atau lebih lama, kemudian beliau mengangkat kepala dan bertakbir. Para sahabat ada yang bertanya: “apakah Rosululloh mengucapkan salam?” . Abi Huroiroh berkata: ” Aku diingatkan bahwa Imron bin Hushoin berkata: Rosululloh mengucapkan salam“.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini. Baik yang berhubungan dengan ushuluddin, ushul fiqh, dan juga fiqh.

Apakah Seorang Nabi Bisa Lupa?

Berhubungan dengan ushuluddin, hadits ini mengindikasikan bahwa “lupa” juga terjadi pada Rasulullah ﷺ. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama’. Hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud menegaskan hal ini:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

Aku hanyalah manusia seperti kalian, aku bisa lupa seperti halnya kalian lupa. Jika aku lupa maka ingatkanlah aku (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Hadits Ibnu Mas’ud tersebut Jumhur Ulama’ berpendapat bolehnya terjadi lupa pada diri Rasulullah  dalam masalah pekerjaan dan ibadah (al-af’al wal ibadat). Namun, ulama sepakat bahwa keadaan lupa tersebut tidak akan menetap pada diri Rasulullah ﷺ (istiqrar) akan tetapi Allah ﷻ akan memberi tahu Rasulullah ﷺ tentang hal beliau lupakan. Imam An-Nawawi menjelaskan (Syarah an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, 5/61-62); bahwa lupa yang terjadi pada Rasulullah ﷺ tidak bertentangan dengan sifat dan tugas kenabian, bahkan lupa yang terjadi pada Rasulullah ﷺ membuahkan faedah penjelasan tentang hukum yang berkaitan dengan lupa. Sedangkan lupa dalam pembicaraan (aqwal), ulama’ sepakat bahwa hal itu tidak mungkin terjadi pada diri Rasulullah ﷺ. (lihat Syarhus Suyuthi ala Muslim, 2/241, Syarhun Nawawi ala Muslim, 2/61-61, Ihkamul Ahkam, 2/21-22).

Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah

Ibnu Daqiq al-‘Id mengidentifikasi belasan masalah yang bisa diambil pemahamannya dari hadits Dzul Yadain ini beserta penjelasan wajhul istinbathnya. Berikut kami sampaikan secara ringkas sebagian dari masalah-masalah tersebut (Ihkamul Ahkam, 2/25-31):

  1. Niat keluar dan memutuskan sholat

    tidak menyebabkan batal jika didasarkan pada dugaan bahwa sholatnya sudah sempurna.

  2. Salam karena lupa tidak membatalkan sholat
  3. Sebagian ulama mengambil dalil dari hadits ini bahwa
    bicaranya orang yang lupa tidak membatalkan sholat.

    Hal ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.

  4. Jumhur ulama menyatakan bahwa sengaja berbicara itu membatalkan sholat.

    Sebagian menyatakan jika pembicaraan itu demi kebaikan sholat maka tidak membatalkan, jika bukan untuk kebaikan sholat maka membatalkan. Ibnul Qosim meriwayatkan dari imam Malik bahwa berbicara dalam konteks sebagaimana pembicaraan Nabi ﷺ dalam hadits di atas, yakni meminta penjelasan, bertanya ketika ragu menjawab pertanyaan tersebut tidak membatalkan sholat sesuai dengan pemahaman hadits tersebut.

    Ulama yang menganggap batal setiap pembicaraan yang disengaja mengarahkan peristiwa dalam hadits sebagai berikut:
  • Hadits Dzul Yadain tersebut di mansukh. Hal ini karena diasumsikan bahwa peristiwa tersebut terjadi di zaman dimana berbicara di dalam sholat itu masih diperbolehkan. Pendapat ini dianggap tidak sahih dengan alasan perawi dari hadits ini yaitu Abu Huroiroh menyatakan bahwa ia ikut menyaksikan peristiwa tersebut sedangkan Abu Huroiroh masuk Islam pada tahun perang khoybar. Haramnya berbicara dalam sholat itu beberapa tahun sebelum perang khoybar. Jadi lebih dahulu adanya hukum haram berbicara dari pada hadits tersebut. Dengan demikian tidak mungkin menasakh sesuatu yang baru dengan sesuatu yang lama.
  • Jawaban shohabat ditakwili dengan jawaban isyaroh bukan dengan kata-kata. Hal inipun dianggap jauh dari dhohirnya hadits.
  • Jawaban shohabat itu adalah jawaban untuk Rosululloh SAW. Menjawab Rosululloh SAW adalah wajib. Hal ini pun disanggah dengan menyatakan bahwa jawaban tidak harus dengan kata-kata melainkan bisa dengan isyaroh.
  1. Pekerjaan yang bukan bagian dari sholat

    ketika dilalakukan maka adakalanya sedikit dan adakalanya banyak. Jika yang dikerjakan sedikit maka ulama menyatakan tidak batal. Bila banyak maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Pendapat yang mengatakan tidak batal mengambil dalil dari hadits Dzul Yadain ini.

  2. Hadits Dzul Yadain ini juga menunjukkan bolehnya meneruskan sholat setelah salam karena lupa.

    Sebagian Ulama Malikiyah mempersyaratkan bolehnya meneruskan sholat tersebut jika ia salam dari rakaat ke dua sebagaimana yang tersurat dalam hadits. Jika tidak demikian maka tidak dibenarkan meneruskan sholatnya. Pendapat ini berhujjah bahwa meneruskan sholat setelah memutusnya dan niat keluar dari sholat itu menyelisihi qiyas. Maka, apa yang terjadi pada peristiwa Dzul Yadain ini harus diposisikan sebagai hukum pengecualian sehingga tidak bisa diterapkan pada setiap keadaan yang hampir serupa, semisal jika seseorang salam dari rakaat pertama.

    yakni sujud karena lupa. Dan bahwa sujud sahwi adalah dua kali di akhir sholat.

  3. Dalam hadits tersebut, Rasulullah ﷺ melakukan sujud sahwi setelah salam.

    Namun demikian ulama berbeda pendapat tentang waktu pelaksanaan sujud sahwi. Imam syafii berpendapat bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Pendapat ini merupakan pendapat beberapa shahabat diantaranya; Abu Sa’id al-Khudri, Mu’awiyah, Abdullah bin Zubair dll. Pendapat kedua menyatakan bahwa sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah. Pendapat inipun merupakan kelanjutan dari pendapat para shahabat diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Saad bin Abi Waqqash, Imran bin Hushain dan lain-lain. Perbedaan pendapat ini tentunya karena dalil yang digunakan oleh para ulama’ itu tidak hanya satu hadits ini saja. Melainkan ada banyak hadits-hadits yang lain yang menjadi bahan pertimbangan.

Sebenarnya masih banyak yang dikupas oleh para ulama dari hadits dzul yadain ini. Namun penulis mencukupkan pembahasan sampai disini sebagai bahan pengayaan dan perenungan betapa sebuah hadits Rasulullah  itu mempunyai kandungan syari’at yang sangat padat. Dan juga bisa memberi gambaran pada kita bagaimana para ulama’ memahami dengan sangat teliti sebuah hadits. Tidak hanya menyimpulkan berdasarkan dhohir (tekstual) saja, namun lebih dari itu.

Demikian semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bisshowab

Ust. Nidhom Subkhi
Latest posts by Ust. Nidhom Subkhi (see all)

Khodim Ma'had Salafiyyah AsSyafi'iyyah Pulungdowo Malang. CEO & Founder Tafaqquh Media Center Malang. Editor in Chief Tafaqquh.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.