Shadow

Seberapa Pentingkah Niat? (Kaidah Pertama)

Sebuah niat merupakan langkah awal seseorang melakukan suatu pekerjaan. Nah, tidak afdalrasanya jika kita berbicara niat tanpa menyertakan salah satu kaidah dalam ilmu fikih ini, salah satu sila pertama dalam panca kaidah yang lebih dikenal dengan istilah Qawaid kulliyah. Kaidah yang dimaksud berbunyi,

الأمور بمقاصدها

“Segala sesuatu tergantung maksud (niat)nya.”

                Kaidah ini berdasar pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda,

إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ ‌بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى، …

“Segala hal itu tergantung niatnya, dan setiap hal itu sesuai dengan apa yang diniatkan…”

                Dari penggalan awal hadis tersebut dikatakan bahwasanya setiap pekerjaan itu harus dibarengi dengan niat. Karena Huruf ba’ yang menyertai lafadz niat tersebut punya faidah Mushahabah seperti tafsiran yang ditawarkan oleh Imam Syaukani dalam kitab Nail Al-Authar,

قَوْلُهُ: (بِالنِّيَّةِ) الْبَاءُ لِلْمُصَاحَبَةِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ تَكُونَ لِلسَّبَبِيَّةِ بِمَعْنَى أَنَّهَا مُقَوِّمَةٌ لِلْعَمَلِ فَكَأَنَّهَا سَبَبٌ فِي إيجَادِهِ

                Maknanya, segala pekerjaan akan bermula dari sebuah niat melakukan pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang dimaksud dalam hadis ini ialah maknanya ibadah. Namun, dalam tafsiran lafaz ‌إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ sendiri sebenarnya terjadi perbedaan di antara ulama. Mazhab Syafi’i mengartikan hadis tersebut berupa, “Segala ibadah hanya bisa sah bila diiringi dengan niat.” Lain halnya dengan mazhab Hanafi yang memosisikan niat hanya sebagai pelengkap sebuah ibadah.

                Dari perbedaan itulah muncul rumusan hukum yang berbeda pula di antara dua mazhab tersebut. Ambil contoh dalam masalah wulu. Mazhab Syafi’i memosisikan niat sebagai penentu keabsahan wulu. Sementara mazhab Hanafi menjadikan niat hanya sebagai kesunahan dalam ibadah wudu.

                Lalu sebenarnya apakah fungsi dasar dari niat itu sendiri? Sehingga mazhab Syafi’i sampai berani menyatakan bahwasanya niat adalah sebuah salah satu penentu keabsahan suatu ibadah?

Fungsi Niat

                Dalam kitab Al-Asybah wa An-Nadhair karangan Imam Suyuthi dijelaskan, bahwasanya salah satu fungsi dasar sebuah niat ialah untuk membedakan suatu ibadah dengan kebiasaan. Maka, jika sebuah ibadah tidak ada kemiripan dengan suatu kebiasaan manusia, maka niat itu tidak diperlukan. Seperti contoh pada kasus membaca Al-Qur’an, yang untuk dianggap sebuah ibadah tidak diperlukan niat.

                Selain itu, niat juga berfungsi untuk membedakan ibadah satu dengan yang lain. Hal ini seperti yang disampaikan dalam kitab Syarah Muhadzdzab, yang bisa dipahami dari penggalan hadis di atas dari lafaz وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى. Dalam ilmu fikih niat biasa diistilahkan dengan Ta’yin. Ini bisa kita lihat dari niat salat yang harus mengandung unsur ta’yinus shalat. Sehingga bisa dibedakan antara pekerjaan salat Zuhur dengan Asar, misalnya. Namun, untuk masalah Ta’yin ini terjadi khilaf dalam kasus salat Id.

                Menurut Syekh Izzudin bin Abdi Salam, niat dalam dua salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak disyaratkan harus ada ta’yin. Beliau beralasan kedua salat ini sama persis ketika kita menilik dari segi sifat, sehingga tidak perlu dibedakan karena memang tidak bisa dibedakan. Namun, Imam Nawawi sendiri berpendapat bahwa ta’yin masih diharuskan dalam kasus ini.

                Kita dapat mengambil pelajaran dari kaidah di atas, bahwasanya sebuah ibadah akan sia-sia bila tak disertai niat. Tapi jangan lupa, tak semua ibadah perlu niat, karena tak semuanya punya kemiripan dengan sebuah kebiasaan. Sekian dan terima kasih.

Muhammad Ilham Firmansyah

Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo

M. Ilham Firmansyah
Latest posts by M. Ilham Firmansyah (see all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.