Nama asli Nabi Nuh adalah Abdul Ghaffar atau dalam pendapat lain Yasykur. Alasan mengenai pergantian nama beliau menjadi Nuh menurut satu versi karena sering menangisi kaumnya yang tidak mau beriman. Sedangkan menurut versi lain karena beliau menangisi kesalahan yang pernah beliau perbuat. Kesalahan tersebut sangat lah fatal, karena dilakukan oleh seorang yang dekat dengan Allah.
Konon beliau dalam suatu perjalanan bertemu dengan anjing yang memiliki empat mata. Melihat anjing ini Nabi Nuh berkomentar, “Sungguh, anjing ini sangat lah jelek.”
Di luar dugaan, sang anjing membalas komentar Nabi, “Hai Abdul Ghaffar, yang kamu hina itu tampilannya atau pembuatnya? Kalau tampilan yang kamu hina, andai aku bisa memilih tak akan sama sekali aku memilih untuk menjadi anjing. Kalau yang kamu hina adalah penciptanya, maka Dia tidak sepantasnya memiliki kekurangan, karena Dia berkehendak sesuka-Nya.”
Mendengar penuturan anjing, Nabi Nuh pun menjerit dan menangisi apa yang telah diucapkan kepadanya. Cerita ini versi kitab Badai’ Az-Zuhur.
Mari kita cermati, Allah menegur Nabi Nuh lewat seekor anjing karena sepatah ejekan yang beliau ungkapkan. Objek ejekan beliau bukan lah manusia yang berstatus makhluk termulia atau malaikat, namun seekor hewan berkategori tak pantas dimuliakan (ghairu muhtaram).
Kalau ditarik pemahaman lagi, maka muncul mafhum muwafaqah, yakni apalagi kepada sesama manusia. Pastinya hal tersebut akan lebih parah lagi tegurannya. Lalu, bagaimana teguran yang kita dapatkan seandainya kita hidup di zaman Nabi Nuh?
Namun, teguran, ancaman maupun siksa tidak segera kita dapatkan sesegera umat terdahulu yang langsung dihukum setelah berbuat kemaksiatan. Dengan rahmat Allah, umat Nabi Muhammad diberi keistimewaan tersendiri. Sehingga, masih ada waktu untuk berbenah sebelum ajal menjemput.
Setidaknya kisah umat terdahulu membuat kita berpikir ulang sebelum bermaksiat. Dalam konteks kali ini: mengatai orang atau berkomentar tanpa rasa sopan.
Kisah senada disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari. Ada lelaki yang dihadapkan kepada Nabi Muhammad karena ia telah mengonsumsi minuman keras (khamr). Nabi menyuruh sahabat lain untuk memukulnya. maka sebagian sahabat memukul dengan tangan, sandal atau menyelepet pakai baju. Setelah itu beberapa sahabat mencemoohnya, “Semoga Allah mempermalukanmu.”
Mendengar komentar itu, Nabi bersabda,
“لَا تَقُولُوا هَكَذَا، لَا تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ”
“Jangan berkata begitu, janganlah kalian menolong setan.”
Perbuatan mengolok tersebut dikatakan menolong setan oleh Nabi karena selaras dengan tujuan setan. Yakni, menghasut seseorang bermaksiat agar dia menjadi orang yang hina, sehingga dari ucapan sahabat tadi seakan tujuan setan telah terwujud.[1]
Dalam hal berkomunikasi, masyarakat kita terkenal memiliki sopan santun yang begitu mulia. Hal ini dikarenakan kita memiliki budaya berkarakter ramah nun penuh kelembutan. Berbagai penelitian dan survei mengamini fakta tersebut. Hanya saja ketika mode dalam jaringan (online), kata beradab seolah berganti menjadi biadab.
Berdasarkan laporan dari Digital Civility Index (DCI) Microsoft, ada dua faktor terbesar yang menyebabkan kesopanan digital kita menurun. Yakni, faktor hoaks dan faktor penipuan serta ujaran kebencian. Kalau dikejar lagi, menurut salah satu pakar, hal ini disebabkan minimnya teladan baik dan kurangnya kontrol moral dalam berselancar di dunia maya.
Maka, menghina orang lain yang menurut kita layak dihina bukanlah suatu kebaikan, walaupun sebuah fakta seperti dalam kisah Nabi Nuh dan hadis di atas. Lebih parah lagi, menghina kepada orang yang tidak layak, bahkan tidak boleh dihina seperti pemimpin.
Disebutkan dalam suatu syair tentang akibat mulut yang tidak dibalut sopan santun,
يَمُوْتُ الفَتَى مِنْ عَثْرَةٍ مِنْ لِسَـانِهِ ۞ وَلَيسَ يَمُوتُ الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةِ الرِّجْلِ
“Pemuda bisa mati sebab tergelincir lisannya, tapi tidak mati karena tergelincir kakinya.”
فَعَثْرَتُهُ مِنْ فِيْــــهِ تَرْمِىْ بِرَأْسِـهِ ۞ وَعَثْرَتُهُ بِالرِّجْلِ تَبْرَى عَلَى الْمَهْلِ
“Tergelincirnya mulut itu bisa membuat kepala terlempar, namun tergelincirnya kaki sangat mudah disembuhkan.”
Wallahu a’lam.
Muhammad Faiq Fasya
Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II
[1] Al-Asqalani, Fath Al-Bari, hal: 77, vol: 12, Maktabah Syamilah
- Teladan Kesopanan dari Kisah Nabi Nuh - Januari 17, 2024