Shadow

Masyaqqoh Dalam Ibadah

Masyaqqoh Dalam Ibadah

Oleh: Nidhom Subkhi Rifa’i

Sahabat tafaqquh, banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa salah satu dasar keberagamaan dalam Islam adalah kemudahan. Setidaknya bisa kita telisik dari beberapa hal berikut:

  1. Firman Allah ﷻ

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

“Allah menginginkan kemudahan pada kalian dan Allah tidak menghendaki kesulitan pada kalian” (Al-Baqoroh:185)

وما جعل الله عليكم فى الدين من حرج

“Allah tidak menjadikan kesulitan atas kalian di dalam agama” (Al-Hajj:78)

  1. Hadits Rasululloh ﷺ

انما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين

“Kalian diutus hanya untuk memudahkan dan kalian tidak diutus untuk membuat kesulitan” (HR. Bukhori dan Muslim)

يسرروا ولا تعسروا

“Mudahkan jangan dipersulit” (HR. Bukhori dan Muslim)

 

Ayat-ayat al-Qur’an serta hadits-hadits diatas sangat jelas memberi penegasan bahwa agama ini dibangun diatas pondasi kemudahan bagi pemeluknya bukan sebaliknya. Berangkat dari sini, kita bisa menemukan bahwa dalam hukum Islam ada banyak keringanan dalam menjalankan perintah-perintah Allah ﷻ. Keringanan dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ruhksoh.

Namun demikian, tidak serta merta kita bisa meninggalkan suatu perintah Allah ﷻ hanya berdalih “mudahkan jangan dipersulit”. Jika ini yang dilakukan maka akan banyak sekali aturan-aturan syari’at yang akan terabaikan hanya dengan alasan “sulit” atau “berat”.

Taklif

Tuntutan Allah ﷻ kepada manusia untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya pasti mengandung kesulitan. Menjalankan sholat sehari lima kali itu berat, apalagi jama’ah tambah berat, apalagi jama’ah shubuh semakin berat. Belum lagi wudlunya, menutup aurot, berangkat menuju tempat sholat, semua mengandung kesulitan dan keberatan. Karena itulah tuntutan Allah kepada manusia untuk menjalankan aturan-aturannya dinamakan taklif. Taklif artinya membebani, orang yang dibebani dinamakan mukallaf. Penamaan ini karena melihat bahwa dalam perintah Allah ada beban yang harus ditanggung. Dengan kata lain ada kesulitan.

Lalu, kesulitan yang bagaimanakah yang dimaksud dalam ayat-ayat dan hadits-hadits diatas?

Terminologi Masyaqqoh

Kesulitan dalam melaksanakan ibadah atau perintah Allah ﷻ dalam fiqih diistilahkan dengan masyaqqoh dan terkadang disebut dengan haroj. Masyaqqoh secara bahasa mempunyai arti jerih payah (al-juhdu), kerja keras (al-‘Ana), kesukaran (as-syiddah) dan berat (ats-tsaqol). Masyaqqoh dalam pengertian istilah tidak keluar dari pemahaman bahasa tersebut. Artinya, segala hal yang dirasa berat, sukar, membutuhkan kerja keras dan jerih payah dinamakan masyaqqoh. Sedangkan haroj diartikan sebagai kesempitan atau kesulitan diluar kebiasaan. Haroj lebih khusus dibanding masyaqqoh. (al-Mawsu’ah al-kuwaitiyyah:37/320, Syamila v.3.61)

Al-Imam Jalaluddin Assuyuthi membagi masyaqqoh menjadi dua (Al-Asybah wan Nadhoir, Darul fikr, 1995; h.59)

  1. Masyaqqoh yang umumnya tidak bisa lepas dari ibadah, seperti beratnya rasa dingin pada waktu mandi atau wudlu, beratnya puasa dimusim kemarau, beratnya perjalanan dalam menunaikan ibadah haji dan lain-lain. Masyaqqoh yang seperti ini tidak punya pengaruh terhadap hukum asal ibadah tersebut. Karena itu, tidak diperkenankan berpindah dari wudlu atau mandi wajib ke tayammum hanya karena dingin. Karena rasa dingin itu sudah menjadi kelaziman dari mandi atau wudlu. Diperbolehkan tayammum jika rasa dingin itu bisa mengancam kesehatan dan menimbulkan penyakit yang berat.
  2. Masyaqqoh yang terlepas dari Ibadah. Yaitu masyaqqoh yang tidak selalu ada atau tidak menjadi kelaziman dari pelaksanaan ibadah. Seperti bahaya yang ditimbulkan oleh wudlu pada anggota tubuh yang sakit, bahaya seperti ini tidak selalu ada pada setiap wudlu, bahaya ini muncul karena ada hal lain yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan wudlu.

Masyaqqoh dalam pengertian yang kedua terbagi menjadi tiga:

  1. Masyaqqoh Adhimah fadihah, kesulitan besar yang bisa membawa bencana. Seperti kekhawatiran atas hilangnya nyawa, anggota badan atau tidak berfungsinya salah satu organ tubuh. Masyaqqoh seperti ini secara pasti menyebabkan adanya keringanan atau rukhsoh. Dalam keadaan seperti ini, menjaga kelangsungan hidup atau keutuhan organ tubuh lebih diutamakan. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga kelangsungan ibadah itu sendiri.
  2. Masyaqqoh Khofifah, kesulitan ringan yang tidak berbahaya. Seperti sedikit pusing, sedikit sakit pada jari atau suhu tubuh yang kurang normal dan lain-lain. Masyaqqoh seperti ini tidak mempunyai pengaruh dalam ibadah. Tidak dibenarkan seseorang sholat dengan duduk hanya karena merasa kurang enak badan, padahal ia masih mampu sholat dengan berdiri tanpa kesulitan, atau meninggalkan puasa wajib hanya karena kaki yang terkilir.
  3. Masyaqqoh Mutawassithoh, kesulitan yang berada diantara kesulitan yang pertama dan kedua. Antara yang berat dan yang ringan. Menyikapi masyaqqoh seperti ini, apakah bisa menyebabkan rukhshoh atau tidak. Imam al-Qorofy al-Maliki[1] menjelaskan (Anwarul Buruq:I/487); bahwa yang digunakan pertimbangan dalam menentukan apakah masyaqqoh dalam tingkatan ini bisa menyebabkan rukhshoh atau tidak adalah dengan metode pendekatan atau taqrib. masyaqqoh yang mendekati masyaqqoh adhimah dapat menjadi sebab adanya keringanan. Sedangkan masyaqqoh yang mendekati masyaqqoh khofifah tidak bisa menjadi sebab adanya keringanan. Jika terdapat kebimbangan atau taroddud diantara keduanya, apakah mendekati berat atau mendekati ringan, maka disinilah akan terjadi khilaf diantara ulama’ sesuai dengan pertimbangan dan dalil dari masing-masing ulama’ tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh As-Suyuthi (Al-Asybah wan Nadhoir, 59), bahkan beliau menegaskan bahwa tidak ada dlobit (batasan pasti) dalam menetukan apakah masyaqqoh ini menyebabkan rukhsoh atau tidak. Satu-satunya cara adalah metode pendekatan tadi.

Problematika Masyaqqoh

Dari sini tampak bahwa permasalah masyaqqoh masih menyisakan problematika. Terutama pada masalah terakhir, yakni apakah sebuah masyaqqoh dikategorikan berat sehingga menimbulkan rukhshoh atau dikategorikan ringan sehingga tidak dianggap sebagai kesulitan yang pantas untuk mendapat keringanan. Disinilah peranan faqih atau mujtahid sangat diperlukan.

Penjelasan Imam al-Qorofi :

يجب على الفقيه أولا أن يفحص عن أدنى مشاق تلك العبادة المعينة فيحققه بنص أو إجماع أو استدلال ثم ما ورد عليه بعد ذلك من المشاق ينظر فيه ثانيا فإن كان مثل تلك المشقة أو أعلى منها جعله مسقطا وإن كان أدنى منها لم يجعله مسقطا مثال ذلك التأذي بالقمل في الحج مبيح للحلق بالحديث الوارد عن كعب بن عجرة فأي مرض آذى مثله أو أعلى منه أباح وإلا فلا والسفر مبيح للفطر بالنص فيعتبر به غيره من المشاق .

“Pertama-tama yang wajib dilakukan seorang Faqih (mujtahid) adalah meneliti masyaqqoh paling ringan dalam ibadah yang dimaksud. Penelitian ini harus didasarkan pada nash, ijma‘ atau istidlal. Langkah yang kedua adalah membandingkan masyaqqoh yang baru ia temui dengan masyaqqoh yang diteliti pada langkah pertama. Jika masyaqqoh yang baru itu menyamai atau bahkan lebih berat dari masyaqqoh yang awal maka masyaqqoh tersebut bisa ia jadikan landasan untuk sebuah keringanan. Jika tidak, maka tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk mendapatkan keringanan. Contohnya adalah, gatal yang disebabkan oleh kutu dalam masalah haji memperbolehkan seseorang mencukur rambutnya. Keringanan ini berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ dari Ka’ab bin Ajrah, maka ketika ditemukan adanya penyakit yang kadar kesulitannya sama dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh kutu maka penyakit tersebut dapat dijadikan alasan memotong rambut. Safar memperbolehkan seseorang untuk tidak puasa berdasarkan nash, karena itu setiap masyaqqoh yang mempunyai kadar keberatan yang sama dengan safar juga boleh dijadikan landasan untuk memperoleh keringanan tidak puasa”.

Apa yang disampaikan oleh Imam al-Qorofi ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Izzuddin bin Abdissalam sebagaimana dikutip oleh Imam As-Suyuthi (ibid).

Sahabat tafaqquh,

tulisan ini tidak dalam rangka mengajak sahabat tafaqquh untuk mencoba-coba, apalagi dengan semborono menggunakan argument masyaqqoh untuk mendapat keringanan dalam ibadah. Sebagaimana sahabat tafaqquh pahami dari keterangan diatas, tidak mudah untuk menentukan suatu kesulitan itu sudah layak mendapat keringanan atau belum. Tulisan ini hanya untuk sedikit mengenalkan kita kepada metodologi para fuqoha’ dalam istimbath hukum agar kecintaan dan penghargaan kita kepada para ulama’, khususnya para fuqoha’ dan mujtahid semakin bertambah.

Demikian semoga manfaat.

 

Wallahu a’lam bisshowab

 

Malang, Asyura 1438 (01:46)

Nidhom Subkhi Rifa’i

 

[1] Abul Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qorofi al-Maliki (w. 684)

Ust. Nidhom Subkhi
Latest posts by Ust. Nidhom Subkhi (see all)

Khodim Ma'had Salafiyyah AsSyafi'iyyah Pulungdowo Malang. CEO & Founder Tafaqquh Media Center Malang. Editor in Chief Tafaqquh.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.