Kajian Hadits Pertama
Oleh : Nidhom Subkhi Rifa’i
01# Amal Tergantung Niat
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: «إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنِّيَّةِ. ـ وَفِي رِوَايَةٍ: بِالْنِّيَّاتِ ـ وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ». رواه البخاري ومسلم، وأبو داود والترمذي والنسائي.
Dari Umar ibnul Khotthob Radiyallahu ‘anhu, Umar berkata: aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Amal-amal itu hanya dengan niat, seseorang hanya mendapatkan apa yang ia niati. Maka barang siapa hijrahnya karena Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan barang siapa hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau perempuan yang akan dia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ia hijrah kepadanya“. (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)
Derajat Hadits
Hadits ini pada empat tingkatan pertama sanadnya termasuk ghorib karena satu-satunya yang meriwayatkan dari Rasulullah hanyalah Umar ibn Khotthob, dari umar yang meriwayatkan hanya ‘Alqomah ibn al-waqqosh, dari al-qomah yang meriwayatkan hanya Muhammad bin Ibrohim At-Tiimy, dari Ibrohim At-Tiimy yang meriwayatkan hanyalah Yahya bin Sa’id al-Anshory. Baru setelah dari Yahya bin Sa’id inilah hadits ini menjadi masyhur dengan banyaknya perawi yang mengambil riwayat darinya hingga mencapai ratusan perawi yang kebanyakan adalah para imam hadits (Syarh al-Araba’in Nawawi Ibnu Daqiq al-‘id).
Semua ahli hadits sepakat bahwa hadits ini berada pada derajat keshohihan yang tinggi.
Hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi dasar penting dalam syari’at Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan bahwa hadits ini masuk dalam sepertiga ilmu. Imam Syafii juga mengatakan bahwa hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab fiqih. (lihat Asybah Wannadhoir As-Suyuthi, fathul Bari ibn Hajar)
Ma’anil Hadits
Innama : adalah adat hashr, yaitu kalimat yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa kebaradaan makna lafadh yang ada setelah innama itu terbatas pada adanya kalimat berikutnya, sehingga pengertian innama al-a’malu binniyyati adalah; kebaradaan amal itu tergantung atau terbatas pada ada atau tidaknya niat. Jika ada niat maka akan ada amal, demikian pula sebaliknya. Inilah makna dasar dari innama, semua ulama’ sepakat akan hal ini.
Lalu, yang tergantung dengan niat itu apa? Apakah amalnya itu sendiri (wujudul amal), sehingga bila tidak ada niat maka nyata-nyata tidak akan ada amal? Ataukah yang tergantung niat itu kesempurnaan amal (kamalul amal), sehingga tanpa niat pun amal itu ada namun tidak sempurna? Ataukah yang dimaksud adalah sah atau tidaknya amal (shihhatul amal), sehingga artinya menjadi ‘sah atau tidaknya amal itu tergantung ada atau tidaknya niat’? Disinalah ulama’ berbeda pendapat.
Ibnu Daqiq al-‘id mengatakan: perkataan Rasulullah ﷺ al-a’mal binniyyat membutuhkan adanya perkiraan mudlof yang dibuang. Ulama’ yang mempersyaratkan niat dalam amal memperkirakan adanya lafadh shihhatul a’mal, sahnya amal atau yang mendekati makna ini. Sedangkan ulama’ yang tidak mensyaratkan niat memperkirakan lafadh kamalul a’mal atau sempurnanya amal. (Ihkamul ahkam:1/15-16).
Pendapat Ibnu Daqiq ini perlu ditinjau sebab ulama’ ittifaq bahwa amal harus bersamaan niat. Hanya saja mereka berbeda dalam masalah amal yang menjadi wasail, yakni amal yang menjadi sarat sah untuk amal lain seperti wudlu, mandi, tayammum, menghilangkan najis dan lain sebagainya. Para ulama tidak berbeda pendapat dalam masalah yang menjadi maqoshid seperti sholat, puasa dan lain-lain, demikian komentar al-hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani (lihat tahqiq Muhammad Munir al-Azhary dalam Ihkamul Ahkam,dar al-kutub al-ilmiyah,2009). Sedangkan memaknai innamal a’malu binniyyati dengan pengertian pertama, yaitu tidak adanya amal tanpa adanya niat terbantah dengan kenyataan yang ada, dimana dapat kita temukan ada aktifitas yang terwujud sekalipun tanpa adanya niat.
Makna Niat
Definisi yang masyhur tentang niat adalah Qoshdus syai’ muqtarinan bifi’lihi yakni menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengerjakannya. Kesengajaan yang mendahului pekerjaan tidak disebut niat melainkan disebut ‘azam.
Al-Imam Badruddin Az-Zarkasyi dalam al-Mantsur menjelaskan tentang hakikat niat (Al-mantsur:III/285); hakikat niat adalah menghubungkan kesengajaan dengan sesuatu yang disengaja (pekerjaan). Kesengajaan adalah kesadaran untuk melakukan sesuatu, ketika kesadaran itu telah mewujud dalam pekerjaan “melakukan sesuatu” tadi, maka wujud kesadaran yang ada dalam pekerjaan itulah yang dinamakan niat. Saya sadar saya akan sholat misalnya, ini belum bisa disebut niat karena belum ada amal. Ketika kemudian saya dengan sengaja melakukan sholat maka kesengajaan itulah yang dinamakan niat.
Dengan adanya niat sebuah pekerjaan menjadi bersifat ikhtiyari,yakni ada karena memang sengaja dilakukan, bukan ada diluar kehendak atau itthirori. Contoh orang yang turun untuk sujud yang memang sengaja untuk sujud berbeda dengan orang yang terdorong oleh orang lain hingga terjatuh dalam posisi sujud. Pada kasus orang yang turun dari posisi i’tidal karena sebab terjatuh oleh dorongan dari orang lain misalnya, sujudnya tidak dianggap dan ia harus kembali pada posisi i’tidal kemudian melakukan sujud. Mengapa? Karena turunnya orang tersebut diluar kehendaknya atau ikhtiyarnya.
Dari sinilah kita bisa memahami mengapa Rasulullah ﷺ mengatakan amal itu tergantung niat. Dari sini pula kita bisa memahami mengapa beban hukum itu hanya bisa diterapkan kepada orang yang berakal. Tak lain karena pertimbangan sebuah amal adalah ada atau tidaknya ihktiyar, sedangkan ikhtiyar itu sendiri terwujud dari adanya niat.
Wa Innama Likullimri’in Ma Nawa
Tiap-tiap orang mendapatkan sesuai niatnya. Frase ini memberikan tambahan pemahaman dari frase sebelumnya. Al-Khotthobi sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Daqiq al-Id menyatakan bahwa frase ini memberikan pengertian wajibnya menta’yin atau menentukan perkara yang ia niati. Misalkan niat sholat, karena sholat itu banyak macamnya maka harus dibedakan sholat yang mana yang ia niati. Tidak cukup hanya niat “aku sholat” namun harus menambah kejelasan misalkan sholat dhuhur, ashar atau yang lain, pembahasan seperti ini banyak sekali ketemukan dalam berabagai literatur fiqih.
Lebih lanjut Imam An-Nawawi memberi penjelasan, faedah penyebutan wa innma likullimri’in ma nawa adalah menjelasakan bahwa ta’yin atau menetukan perkara yang diniatai itu menjadi syarat dalam niat. Jika seseorang mempunyai tanggungan sholat qodlo’ maka tidak cukup baginya niat sholat qodlo’ saja, akan tetapi disyaratkan menentukan sholat apa yang ia qodlo’i, apakah dhuhur atau ashar atau yang lain. Jika saja tidak ada frase kedua ini maka sudah cukup hanya niat sholat saja. (Syarah Arba’in libni Daqiq al-Id, 70).
Ikhlas
Barang siapa yang hijrahnya karena Allah maka balasannya ada pada Allah, sebaliknya barang siapa yang hijrah karena dunia atau karena wanita atau yang lain maka ia hanya akan mendapatkan apa yang menjadi tujuan ia berhijrah tersebut. Frase terakhir ini menegaskan pentingnya ikhlas dalam beramal. Balasan yang akan didapat oleh seseorang dari amalnya tergantung kepada niatnya.
Kesimpulan Hadits
- Niat menjadikan suatu aktifitas amal itu bersifat ikhtiyari. Dan amal ikhtiyari inilah yang menjadi salah satu madaruttaklif (ruang lingkup beban hukum).
- Niat memegang peranan penting dalam amal. Sah atau tidaknya amal tergantung pada ada atau tidaknya amal. Hanya saja ulama berbeda dalam menentukan amal manakah yang disyaratkan niat dan mana yang tidak. Penjelasan tentang hal ini silahkan ikuti dalam kajian ushul fiqih tafaqquh.id
- Dalam praktek amal yang mempunyai banyak macam seperti sholat harus ada ta’yin, yakni menentukan amal yang mana yang ia niati. Hal ini untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain.
- Balasan sebuah amal tergantung pada keikhlasan niat.
Demikian penjelasan yang bisa redaksi sampaikan. Lebih lanjut tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan niat bisa anda ikuti di kolom ushul fiqih tafaqquh.id
Semoga bermanfaat
Wallahu a’lam bisshowab
Senin, bertepatan dengan hari Tasu’a 1438
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019