Salah satu dari kesunahan dalam mandi wajib adalah berwudu sebelum mandi. Ada dua hadis sahih yang berkenaan dengan tata cara wudu Rasulullah SAW sebelum melaksanakan mandi wajib. Perlu kita tahu sebelumnya, bahwa kedua hadis ini sama-sama datang dari dua istri beliau, Sayidah ‘Aisyah dan Sayidah Maimunah. Sehingga, tidak mengherankan jika hal privasi itu bisa sampai kepada para ulama, bahkan sampai pada kita hari ini. Berikut hadisnya,
Peratama, hadis yang diriwayatkan Sayidah ‘Aisyah RA,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، غَسَلَ يَدَيْهِ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ اغْتَسَلَ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ. رواه البخاري (ح/269)
“Diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah, beliau berkata: ‘Rasulullah SAW (sering kali) Ketika (hendak) mandi dari janabah (hadas besar) terlebih dahulu membasuh kedua tangannya, berwudu sebagaimana hendak salat. Kemudian beliau mandi, menyela-nyalai rambut kepala dengan tangannya. Hingga saat dirasa air telah meratai kulit kepala, beliau mengguyurnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh anggota badan yang lain.’” (HR. Bukhari No. 269).
Kedua, hadis yang diriwayatkan Sayidah Maimunah RA,
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ: تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، غَيْرَ رِجْلَيْهِ، وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنَ الْأَذَى، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ، ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ، فَغَسَلَهُمَا، هَذِهِ غُسْلُهُ مِنَ الْجَنَابَةِ. رواه البخاري (ح/249)
“Diriwayatkan dari Sayidah Maimunah RA, salah seorang dari istri Rasulullah SAW, beliau berkata, ‘Rasulullah SAW (ketika hendak mandi wajib) berwudu (terlebih dahulu) sebagaimana ketika hendak salat – hanya saja tidak membasuh kedua kakinya, membasuh farjinya dan kotoran yang mengenainya. Kemudian mengguyurkan air di atas (kepala)nya, selanjutnya menampakkan kedua kakinya, lalu membasuhnya. Begini lah tata cara mandi Rasulullah SAW.’” (HR. Bukhari No. 249)
Dari kedua hadis di atas para ulama berbeda pendapat akan tata cara mana yang lebih diutamakan, sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, beliau berkata,
وأما صفة الغسل فهي كما ذكرها المصنف باتفاق الأصحاب ودليلها الحديث إلا أن أصحابنا الخراسانيين نقلوا للشافعي قولين في هذا الوضوء: (أحدهما) : أنه يكمله كله بغسل الرجلين وهذا هو الأصح وبه قطع العراقيون: (والثاني) أنه يؤخر غسل الرجلين ونقله بعضهم عن نصه في البويطي وكذا رأيته أنا في البويطي صريحا وهذان القولان إنما هما في الأفضل وإلا فكيف فعل حصل الوضوء.
“Adapun tata cara mandi wajib ialah sebagaimana yang disebutkan oleh mushannif berdasarkan kesepakatan ashhab dan dalilnya adalah hadis (yang telah disebutkan). Hanya saja, para ashhab golongan Khurasan meriwayatkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i memiliki dua pendapat dalam tata cara wudu (sebelum mandi).
Pertama, berwudu seraya menyempurnakannya dengan membasuh kedua kaki, ini merupakan pendapat yang unggul dan ditetapkan oleh para ashhab dari golongan Iraq.
Kedua, berwudu dengan mengakhirkan pembasuhan kaki. Pendapat ini oleh sebagian ulama dikutip dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam riwayat Al-Buwaithi.
Dan aku (Al-Imam An-Nawawi) juga melihatnya (memastikan) secara jelas. Dua pendapat ini hanya berkutat pada tata cara mana yang lebih utama, sehingga menggunakan tata cara yang mana pun seseorang akan tetap mendapat kesunahan.”
Ada beberapa hal yang dapat kita ambil dari cuplikan teks kitab kuning di atas. Pertama, perbedaan pendapat dalam hal ini muncul dari kalangan ulama Khurasan. Kedua, perbedaan pendapat ini hanya sebatas pada tata cara mana yang lebih diutamakan, sehingga kesunahan berwudu sebelum mandi bisa didapat dengan memakai tata cara yang mana saja. Ketiga, tata cara yang diutamakan atau yang diunggulkan dari kedua pendapat tersebut adalah tata cara atau pendapat yang pertama, yaitu berwudu secara sempurna sebagaimana melaksanakan wudu ketika hendak melaksanakan salat.
Selanjutnya, dari dua hadis sahih di atas, kenapa tata cara atau pendapat pertama yang diunggulkan oleh Al-Imam An-Nawawi selaku ulama tarjih? Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhafah Al-Muhtaj bi syarh Al-Minhaj memberi penjelasan,
(ثم الوضوء) كاملا للاتباع ويسن له استصحابه إلى الفراغ حتى لو أحدث سن له إعادته. وزعم المحاملي ومن تبعه اختصاصه بالغسل الواجب ضعيف كما علم مما قدمته (وفي قول يؤخر غسل قدميه) للاتباع أيضا والخلاف في الأفضل ورجح الأول؛ لأن في لفظ رواته كان المشعرة بالتكرار بل قيل الثاني إنما يدل على الجواز لا غير.
“(Kesunahan) selanjutnya, berwudu secara sempurna, karena atas dasar mengikuti sunah Nabi. Disunahkan baginya (orang yang mandi) menetapkan wudunya sampai ia selesai mandi, bahkan Ketika ia kemudian berhadas maka sunah baginya untuk mengulangi wudunya. Pendapat Al-Mahamili dan para ulama yang sejalan dengannya mengatakan bahwa (kesunahan mengulang wudu ketika berhadas) itu tertentu pada mandi wajib merupakan pendapat yang lemah, sebagaimana keterangan sebelumnya. Menurut satu pendapat, (disunahkan berwudu) dengan mengakhirkan pembasuhan kedua kaki, karena dasar mengikuti sunah nabi juga. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas pada tata cara mana yang lebih utama. Al-Imam An-Nawawi lebih mengunggulkan tata cara yang pertama karena dalam periwayatannya terdapat lafaz ‘kana’ yang menunjukkan pengulangan, bahkan menurut satu pendapat riwayat yang kedua hanya menunjukkan suatu kebolehan.”
Simpelnya, tata cara yang pertama lebih diunggulkan atau diutamakan oleh para ulama karena tata cara tersebut merupakan cara yang sering dilakukan oleh Nabi SAW. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan dari Ibnu Daqiq Al-‘Id dalam kitab syarah hadis Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘Umdah Al-Ahkam,
الْوَجْهُ الثَّانِي: يُقَالُ ” كَانَ يَفْعَلُ كَذَا ” بِمَعْنَى أَنَّهُ تَكَرَّرَ مِنْهُ فِعْلُهُ، وَكَانَ عَادَتُهُ، كَمَا يُقَالُ: كَانَ فُلَانٌ يُقْرِي الضَّيْفَ، وَ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ» وَقَدْ يَسْتَعْمِلُ ” كَانَ ” لِإِفَادَةِ مُجَرَّدِ الْفِعْلِ؛ وَوُقُوعِ الْفِعْلِ، دُونَ الدَّلَالَةِ عَلَى التَّكْرَارِ، وَالْأَوَّلُ: أَكْثَرُ فِي الِاسْتِعْمَالِ، وَعَلَيْهِ يَنْبَغِي حَمْلُ الْحَدِيثِ، وَقَوْلُ عَائِشَةَ ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إذَا اغْتَسَلَ”
“Poin yang kedua: lafaz ‘kaana yaf’alu kadzaa’ menunjukkan makna bahwa seseorang mengulang-ulang pekerjaan dan itu menjadi kebiasaan. Sebagaimana contoh: ‘Pria itu sering kali menjamu tamu’ dan ‘Rasulullah SAW senantiasa menjadi pribadi yang paling tidak segan-segan dalam berbuat baik’. Terkadang kata ‘kaana’ digunakan untuk makna sebatas melakukan tanpa pengulangan. Makna yang pertama adalah makna yang paling sering dipakai. Oleh karna itu, pengarahan hadis sepantasnya diarahkan ke makna tersebut, begitu pula pernyataan Sayidah ‘Aisyah: ‘kanaa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam idza ightasala.’”
Hasil akhirnya, tata cara yang diutamakan dalam melakukan kesunahan berwudu sebelum mandi wajib adalah dengan berwudu secara sempurna sebagaimana berwudu Ketika hendak melaksanakan salat. Ini didasari riwayat dari Sayidah ‘Aisyah yang menunjukkan bahwa tata cara yang demikian adalah yang sering atau menjadi kebiasaan nabi SAW.
Dari sini dapat kita tahu bersama bahwa ulama kita sangat detail dalam memaknai hadis. Tidak hanya melihat pada makna teks saja, tetapi lebih dalam dari itu. Hal itu tidak lain karena kedalaman ilmu bahasa mereka. Ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya peran ilmu bahasa dalam hukum syariat. Sekian dan terima kasih.
Tuhandi
Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Muradlo
- Tata Cara Wudu Sunah Yang Diutamakan Sebelum Mandi Wajib - Februari 4, 2024
- Menetap di Dua Daerah, Salat Jumatnya Mengesahkan yang Mana? - November 28, 2023
- Jual Beli Tanpa Ijab dan Qabul (Muathah): Pendapat Ulama dalam Kajian Fikih Mazhab Syafi’i - Oktober 1, 2023