Shadow

Jual Beli Tanpa Ijab dan Qabul (Muathah): Pendapat Ulama dalam Kajian Fikih Mazhab Syafi’i

Tulisan ini membahas fenomena jual beli, sebuah aktivitas yang mendominasi ekonomi di seluruh dunia. Dalam era teknologi dan pasar yang terus berkembang, praktik jual beli telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Namun, terdapat berbagai macam sistem jual beli, termasuk yang akan dibahas di sini, yaitu jual beli tanpa adanya shighat ijab dan qabul (serah-terima). Praktik semacam ini cukup umum di masyarakat, dan kita akan menyelidiki pendapat-pendapat ulama tentang hukumnya.

Sebelumnya, penting untuk memahami bahwa salah satu unsur penting dalam jual beli adalah adanya ijab dan qabul atau ucapan timbal balik antara penjual dan pembeli yang menunjukkan persetujuan dari kedua belah pihak.

Seperti yang disebutkan oleh Imam Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fath Al-Muin bi Syarh Qurrah Al-‘Ain bi Muhimmat Ad-Din, transaksi jual beli dianggap sah jika ada persetujuan antara penjual dan pembeli, bahkan jika transaksi tersebut dilakukan dengan santai atau dalam bentuk lelucon.[1]

يصح البيع بإيجاب من البائع ولو  هزلا  وهو ما دل على التمليك دلالة ظاهرة: كبعتك ذا بكذا أو هو لك بكذا وملكتك أو وهبتك ذا بكذا وكذا جعلته لك بكذا إن نوى به البيع.  وقبول من المشتري ولو هزلا وهو ما دل على التملك كذلك: كاشتريت هذا بكذا وقبلت أو رضيت أو أخذت أو تملكت هذا بكذا.

Pendapat Ulama Mengenai Jual Beli Tanpa Shighat (Muathah):

a. Pendapat yang Tidak Mengesahkan:

   1. Imam Khathib Ad-Dahsati, mengutip pendapat Imam Syafi’i, mengatakan bahwa hukum jual beli tanpa adanya ijab dan qabul (shighat) tidak sah[2].

و نص الشافعي رحمه الله تعالى : انه لا يصح الا بالايجاب و القبول

   2. Imam Nawawi, dalam kitab Al-Majmu` Syarh Al-Muhadzdzab, mengatakan bahwa pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Syafi’i adalah bahwa jual beli tanpa ijab dan qabul (shighat)/muathah hukumnya tidak sah, baik dalam pembelian barang yang sedikit maupun banyak. Hal ini juga merupakan pandangan yang dianut oleh kalangan ulama yang lain[3].

المشهور من مذهبنا أنه لا يصح البيع إلا بالإيجاب والقبول ولا تصح المعاطاة في قليل ولا كثير وبهذا قطع المصنف والجمهور

   Imam Asy-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam As-Syafi’i memberikan alasan ketidakabsahan jual beli tanpa shighat (muathah) ini. Beliau mengatakan bahwa jual beli hanya sah jika ada ijab dan qabul, karena istilah “jual beli” harus sesuai dengan praktiknya.[4]

ولا ينعقد البيع إلا بالإيجاب والقبول فأما ‌المعاطاة فلا ينعقد فيها البيع لأن اسم البيع لا يقع عليه.

   Imam Ar-Rafi`i dalam kitab Al-Aziz Syarh Al-Wajiz juga berpendapat bahwa jual beli tanpa ijab dan qabul (muathah) tidak sah. Menurutnya, tindakan tanpa ijab dan qabul tidak memiliki dasar dalam hukum Islam, dan tujuan orang-orang dalam tindakan tersebut dapat bervariasi.[5]

‌المُعَاطاة ليست بيعاً على المذهب المشهور؛ لأن الأفعال لا دلالة لها بالوضع، وقصود الناس فيها تختلف

b. Pendapat yang Mengesahkan:

   1. Imam Ar-Rafi`i menjelaskan bahwa Ibn Suraij berpendapat bahwa jual beli tanpa ijab dan qabul (shighat) sah, asalkan dalam pembelian barang yang dianggap remeh/rendah. Menurutnya, keabsahan jual beli ini tergantung pada kerelaan dan persetujuan, yang dapat diketahui melalui tanda-tanda (qarinah).[6]

وعن ابن سريج فيها تخريج قول الشَّافِعِي -رضي الله عنه- أنه يكتفي بها في المُحقرات؛ لأن المقصود الرِّضَا، (وبالقرائن) يعرف حصوله،

   Imam Khatib Ad-Dahsati juga mencatat alasan Ibn Suraij yang berpendapat bahwa jual beli tanpa ijab dan qabul sah. Ibn As-Suraij berpendapat bahwa jika dalam suatu budaya atau masyarakat, saling memberi (معاطاة) telah menjadi bagian dari proses jual beli dan dianggap sebagai penjualan, maka itu dianggap sah. Namun, jika tidak biasa atau tidak menjadi kebiasaan dalam budaya tersebut untuk melakukan saling memberi dalam transaksi tertentu, maka itu tidak dianggap sebagai penjualan yang sah[7].

قال ابن سريج :  كل ما جرت العادة فيه بالمعاطاة وعدوه بيعا فهو بيع ، ومالم تجر العادة فيه بالمعاطاة ، كالجواري والدواب والعقار لا يكون بيعا

   2. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu` Syarh Al-Muhadzdzab juga mencatat pendapat yang mengesahkan jual beli tanpa shighat. Beliau menyebutkan bahwa beberapa ulama dari madzhab Syafi`i memilih pendapat ini, yaitu bahwa jual beli tanpa ijab dan qabul (shighat)/muathah sah jika dianggap sebagai jual beli oleh masyarakat. Karena Allah SWT menghalalkan jual beli dalam Islam tanpa mengatur frasa khusus seperti “ijab dan qabul“. Maka hukumnya kembali kepada kebiasaan dan praktik umum masyarakat dan dianggap sebagai penjualan oleh masyarakat. Karena itu adalah kebiasaan dan praktik umum dalam transaksi, maka itu dianggap sebagai penjualan yang sah dalam Islam

            Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa meskipun ada banyak hadis yang mencakup transaksi jual beli dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, tidak ada yang mengharuskan penggunaan frasa tertentu seperti “إيجاب وقبول” (ijab dan qabul, artinya tawaran dan persetujuan) dalam transaksi tersebut.[8]

وهذا هو المختار لأن الله تعالى أحل البيع ولم يثبت في الشرع لفظ له فوجب الرجوع إلى العرف فكلما عده الناس بيعا كان بيعا كما في القبض والحرز وإحياء الموات وغير ذلك من الألفاظ المطلقة فإنها كلها تحمل على العرف ولفظة البيع مشهورة وقد اشتهرت الأحاديث بالبيع من النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم في زمنه وبعده ولم يثبت في شئ منها مع كثرتها اشتراط الإيجاب والقبول والله أعلم

Kesimpulan:

Hukum jual beli tanpa adanya ijab dan qabul (shighat)/muathah adalah perdebatan di antara ulama. Beberapa ulama mengesahkannya dalam pembelian barang yang dianggap rendah/remeh, jika praktik ini sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai penjualan oleh masyarakat. Namun, yang lain tidak mengesahkannya karena dianggap mencacati salah satu rukun jual beli, yaitu tidak adanya ijab dan qabul (shighat). Oleh karena itu, pandangan ini dapat bervariasi, dan setiap individu harus mempertimbangkan pendapat ulama dan kebiasaan lokal mereka saat melakukan transaksi jual beli.

Rizki Wildan Habibi/Mutakharrijin Ma’had Aly An-Nur II Malang


[1] Zainuddin Al-Malibari, Fath Al-Muin bi Syarh Qurrah Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din, hal 317, cet. Dar Ibn Hazm.

[2] Khathib Ad-Dahsati, Mukhtashar Al-La`i wa Kalam Al-Isnawi, hal 252-253, cet. Wazirah Al-Auqaf Al-Iraqiyyah.

[3] Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhadzdzab, Hal 162, Juz 9, Cet. Dar Al-Fikr.

[4] Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhadzzab Fi Fiqh Al-Imam As-Syafi’i, Hal. 3, Juz. 2, Cet. Dar Kutub Ilmiyah.

[5] Abu Al-Qasim Ar-Rafi’i, Al-Aziz Syrah Al-Wajiz Al-Ma`ruf bi As-Syarh Al-Kabir, Hal. 10, Juz 4, Cet. Dar Kutub Ilmyah.

[6] Ibid, Hal. 10, Juz 4, Cet. Dar Kutub Ilmyah.

[7] Khathib Ad-Dahsati, Mukhtashar Al-La`i wa Kalam Al-Isnawi, hal 252-253, cet. Wazirah Al-Auqaf Al-Iraqiyyah.

[8] Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhadzdzab, Hal. 163, Juz 9, Cet. Dar Al-Fikr.

Mahasantri Ma'had Aly An-Nur 2 Al-Murtadho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.