Oleh: Ust. Nidhom Subkhi
“أُمِرتُ أنْ أُقاتلَ النَّاسَ حتَّى يَشهدوا أنْ لا إله إلاَّ الله وأنَّ مُحمَّدًا رسولُ الله، ويُقيموا الصَّلاة، ويُؤْتوا الزَّكاة، فإذا فَعَلوا ذلكَ عَصَمُوا مِنِّي دِماءَهُم وأموالَهُم إلا بحقَّ الإسلام، وحسابُهم على الله”
Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Bila mereka telah melakukan hal tersebut maka mereka telah menjaga darah dan harta bendanya dariku kecuali dengan haq Islam. Dan hisab mereka ada pada Allah.
Tafaqquh.com- Hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh imam Bukhori di dalam shahihnya.
Kelompok yang sejak awal beranggapan bahwa Islam adalah “agama pedang” seringkali mengutip hadits tersebut sebagai pembenar atas pandangan mereka bahwa semua manusia harus diperangi agar tunduk dan memeluk agama Islam.
Bagi mereka, hanya ada dua pilihan; Islam atau pedang di leher!
Lalu … Benarkah demikian? Apakah benar bahwa hadits tersebut menyeru kita untuk memerangi semua orang yang belum bersyahadat? Memerangi semua orang diluar Islam?
Menjawab pertanyaan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan teks dan konteks hadits tersebut.
Pertama, Hadits tersebut muncul setelah turunya ayat ke 5 surat al-Maidah yang berisi perintah memerangi orang-orang musyrik secara khusus.
Ayat tersebut berbunyi:
فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡهُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُوا۟ ٱلۡمُشۡرِكِینَ حَیۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُوا۟ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدࣲۚ فَإِن تَابُوا۟ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّوا۟ سَبِیلَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ
Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. [Surat At-Taubah 5]
Ayat inipun sering kali ditafsiri sebagai perintah untuk memerangi orang musyrik. Kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun orang musyrik harus diperangi.
Bagi yang kurang jeli dalam memahami ayat, maka pemahaman demikian bisa dengan mudah diterima.
Padahal …. Ayat tersebut “hanya” menjelaskan kapan boleh mengadakan peperangan.
Ayat tersebut juga tidak menjelaskan bahwa perintah perang tersebut dikarenakan “kemusyrikan” mereka.
Ayat tersebut tidak bisa serampangan dipahami sebagai perintah “membasmi” kekufuran atau kemusyrikan.
Disinilah kita mengerti betapa pentingnya memahami konteks yang menjadi latar belakang sebuah teks.
Karena kita sedang membicarakan hadits qital, maka pembahasan ayat diatas kita cukupkan dulu. Insya Allah akan kita tulis pada artikel yang lain. Semoga ….
Kembali ke Hadits
Jadi …. Hadits qital diatas merupakan penjelasan dari ayat ke 5 surat al-maidah di atas.(lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari, I/175 maktabah syamilah)
Dengan demikian hadits tersebut hanya bisa diarahkan dalam konteks peperangan, bukan dalam keadaan normal.
Kedua, diksi yang digunakan adalah اقاتل bukan اقتل. Apakah berbeda? Ya.
Dalam ilmu tashrif keduanya mempunyai wazan yang berbeda. اقاتل mengikuti wazan فاعل. Dengan tambahan alif setelah fa’ fiil. Faedahnya adalah musyarakah atau bermakna saling. Artinya, harus ada memberi dan membalas. Memerangi dan diperangi sehingga terjadi peperangan.
Sedangkan اقتل mengikuti wazan فعل yaitu wazan tsulasi mujarrad. Yang berarti membunuh. Sangat jauh maknanya.
Dengan demikan, tidak benar mengarahkan hadits tersebut pada tindakan membunuh atau menyerang orang kafir tanpa adanya pencetus yang berupa tindakan dhalim dari mereka.
Dengan pola keserasian teks dan konteks sebagaimana diatas, hadits tersebut bisa kita artikan sebagai berikut:
“Aku diperintah menghadang serangan dari luar yang menghalangi jalan dakwahku, sehingga dakwahku bisa sampai kepada semua manusia dan mereka bisa memeluk agama Islam. Jika memang keadaan mengharuskan terjadinya peperangan maka kewajibanku adalah melawannya.”
Ringkasnya, Nabi tidak diperintah untuk membunuh orang-orang musyrik atau menyerang mereka tanpa adanya kedhaliman yang mereka lakukan pada kaum muslimin. Karena jika demikian maka waktu Nabi akan habis hanya untuk membunuh dan menyerang orang-orang yang belum masuk Islam. Karena sampai Rasulullah meninggalpun masih banyak orang yang belum menerima Islam.
Dan ….. Nyatanya, sejarah membuktikan bahwa Rasulullah bisa hidup berdampingan dengan non muslim. Jika saja Nabi diperintah (dan setiap perintah pada dasarnya adalah wajib) maka berarti Rasulullah telah melanggar perintah. Sungguh ini adalah tuduhan yang keji.
Wal ‘Iyadzu billaah.
Wallahu a’lam bisshowab.
6 Rajab 1441
Nidhom Subkhi
- Ulama Ulama Muda - Juni 4, 2020
- Tidak Main-Main, Inilah bahayanya memutus tali persaudaraan - Mei 27, 2020
- Syarat Wajib Puasa - Mei 5, 2020