Oleh : Redaksi Tafaqquh.com
Tafaqquh.com – Pada kajian sebelumnya telah dibahas pengertian Fiqh, yang pada intinya fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah. Lalu apa saja hukum syari’at itu?
Imamul Haramain al-Juwaini (penyusun waroqot) menjelaskan bahwa hukum yang dimaksud dalam penjelasan fiqih itu ada tujuh, yaitu
1. Wajib;
didefinisikan sebagai
ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
“Setiap perkara yang bila dilakukan mendapat pahala (tsawab) dan bila ditinggalkan mendapat siksa (‘iqob)”. Artinya, Allah menjanjikan pahala kepada siapa saja yang melakukannya dan memberi ancaman siksa pada siapa saja yang meninggalkannya. Urusan apakah Allah apakah benar-benar akan menunaikan janjinya atau melaksanakan ancamannya adalah urusan lain, sehingga bila ada orang yang melakukan kewajiban ternyata ia tidak mendapatkan pahala atau meninggalkannya namun kemudian Allah memaafkannya ini tidak berpengaruh kepada definisi diatas. Karena itu menurut Al-Mahally, maksud dari mendapat pahala atau dosa adalah menjadi penyebab (tarottub) seseorang mendapatkan pahala atau dosa.
2. Mandub;
ما يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه
“Perkara yang melakukannya mendapatkan pahala dan meninggalkannya tidak mendpatkan siksa”.
3. Mahdhur;
ما يعاقب على فعله ويثاب على تركه
“Perkara yang bila dilakukan menadapat siksa, meninggalkannya mendapat pahala”.
4. Makruh;
ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله
“Perkara yang bila ditinggalkan mendapatkan pahala, bila dilakukan tidak mendapat dosa”.
5. Ibahah;
ما لا يتعلق به ثواب ولا عقاب
“Sesuatu yang tidak berhubungan dengan pahala atau dosa”.
6. Shohih;
ما يتعلق به النفوذ ويعتد به
“Sesuatu yang tergantung padanya ‘nufudz‘ dan dengannya suatu amal itu dianggap”.
Nufudz artinya sampai pada tujuan. Maksudnya suatu amal itu jika sudah sah maka berimplikasi pada tercapainya tujuan dari amal itu. Jual beli yang sah implikasinya adalah tujuan dari jual beli tersebut yaitu kepemilikan penjual atas harga yang telah dibayar dan kepemilikan pembeli atas barang yang dijual. Nikah yang sah adalah ketika suami telah diperbolehkan mengambil manfaat dari istri dan sebaliknya.
Sah juga berarti dianggap secara syara’. Yakni terpenuhinya segala sesuatu yang dipertimbangkan di dalam syara’.
7. Fasid;
ما لا يتعلق به النفوذ ولا يعتد به
“Sesuatu yang tidak berhubungan dengan nufudz dan tidak dianggap”.
Sesuatu dikatakan fasid jika tidak mengakibatkan tercapainya tujuan dan tidak dianggap. Yakni ketika sesuatu itu tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan syari’at.
Catatan halaqoh
– Suatu amal itu terkadang mempunyai beberapa sudut pandang.
Dalam satu amal terkadang ada lebih dari satu hukum yang terkumpul. Seperti sholat fardlu ditempat yang dighosob. maka hukumnya dipilah-pilah sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Jika dilihat sholatnya maka hukumnya wajib namun dilihat ghosobnya maka hukumnya haram. Karena itu Imam al-Mahalli dalam setiap definisi menambahkan kata min haytsu washfuhu …, maksudnya, definisi tersebut hanya memandang satu pekerjaan dengan satu hukum tertentu, bukan hukum yang lain yang terkadang menyertainya.
– Imamul Haramain tidak menyinggung definisi dari hukum.
Beliau hanya menjelaskan macam-macam hukum. Ushuliyun mendefinisikan hukum dengan “Titah Allah yang berhubungan dengan mukallaf. Jika titah tersebut menuntut melakukan sesuatu dengan tuntutan yang mantab (tidak memberi peluang untuk ditinggalkan) maka disebut ijab. Jika tuntutan mengerjakan itu tidak mantap (memberi peluang untuk ditinggalkan) maka disebut nadb. Jika titah itu menuntut untuk menahan diri dari sesuatu (meninggalkan) dengan tuntutan yang mantap (tidak memberi peluang untuk dilakukan) maka disebut tahrim atau hadhor. Jika tuntutan menahan diri itu tidak mantap (memberi peluang untuk dilakukan) namun menggunakan larangan yang khusus maka disebut karohah, bila tidak ada larangan khusus melainkan dipaham dari perintah nadb maka disebut khilaful awla. Dan bila titah Allah itu memberi keleluasaan untuk melakukan atau meninggalkan maka disebut ibahah. hukum-hukum ini nantinya akan disebut dengan hukum taklifi. Adapula titah Allah yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan mukallaf namun menjadikan sesuatu sebagai sebuah ketentuan sah atau fasid. Hukum sah dan fasid ini kemudian disebut hukum wadl’i.
– Definisi yang disampaikan oleh Imamul Haramain sebenarnya bukanlah definisi dari hukum melainkan muta’allaqnya hukum atau perkara yang dihukumi.
Sedangkan hukum itu sendiri adalah ijab, nadb, karohah, hadhor atau tahrim dan ibahah. Penjelasanya, perkara yang mempunyai hukum ijab disebut perkara wajib, yang mempunyai hukum hadhor disebut mahdhur dan seterusnya.
Wallahu a’lam
Ditulis oleh redaksi tafaqquh.id dari ringkasan halaqoh fiqih dan ushul fiqih majlis tafaqquh fiddin pada malam jum’at 4 Shafar 1438
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019