Oleh: Nidhom Subkhi.
مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ
“Diantara tanda bersandar pada amal adalah kurangnya harapan ketika terjadi kesalahan”
Sahabat tafaqquh ….!
Beramal adalah perintah Allah, Beramal adalah tanda cinta kita kepadaNYA. Amal adalah bukti ketertundukan, Ibadah adalah bukti kehambaan, Semangat berbakti adalah bukti syukur kita kepadaNYA.
Dimanakah bukti ketertundukan kita bila kita tidak beramal karenaNYA, dimanakah bukti kehambaan kita jika kita pandai merangkai alasan untuk meninggalkan perintahNYA?, manakah wujud syukur kita atas nikmat-nikmat yang tak terhingga dariNYA jika kita malas melaksanakan amal-amal yang menjadi perintahNYA? Manakah bukti cinta kita, rindu kita, takut kita, rasa sungkan kita …. Jika perintah-perintah dan petunjukNYA kita abaikan?
Inilah nilai esensial amal yang ‘mungkin’ ingin beliau sampaikan. Intinya, beramallah karena memang Allah memerintah kita beramal. Titik … bukan yang lain!.
Coba kita renungkan firman Allah berikut ini ……
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات: 56]
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKU”
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ}[البينة: ]
“mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
Kita diciptakan hanya untuk beribadah, untuk menyembah, untuk mengabdi. Mengabdi dengan tulus, pengabdian yang murni, kata lain dari mukhlis. Lalu pantaskah jika pengabdian kita, kita anggap sebagai piutang kita pada Allah U pantaskah kita mengharap imbalan atas pengabdian kita.
Sahabat tafaqquh, persembahkan amal yang terbaik untuk DIA! Titik. Jangan hiraukan amal kita yang telah kita persembahkan itu! Jangan kita hitung-hitung lagi amal kita! Apalagi, kitahitung-hitung balasan apa yang akan segera kita nikmati! Ah … sungguh menggelikan. Bukankah kita telah mempersembahkannya untuku DIA? Kita berikan tapi kita minta imbalan. Apa kita anggap diri kita telah berjasa kepada Tuhan? Sehingga pantas mendapat tanda jasa atau tanda terima kasih? Atau …. Kita malah menganggap Tuhan itu hanya memperhatikan hambanya yang memberi “sesuatu” padaNYA? Jika demikian, Tak terasakah bahwa kita telah “menyuap” Tuhan. Ah…Tragis!
Lebih tragis lagi … tak terasa kita telah bergantung kepada amal. Kita lebih percaya kepada amal kita sendiri dari pada kepada Tuhan. Buktinya, harapan kita pada Tuhan akan berkurang manakala terjadi kekurangan dan kesalahan dalam amal seperti yang Syekh Ibnu Athaillah sampaikan. Ketika kita bersemangat bangun malam, bersedekah, membaca al-Qur’an dan amal-amal yang lain, kita merasa pantas mendapatkan curahan rahmatNYA. Kita merasa hidup kita bahagia, segala yang kita inginkan dikabulkan, dan semua urusan lancar. Kita anggap itu adalah buah dari amal yang kita lakukan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, kita malas sholat malam, enggan bersedekah, ogah-ogahan membaca al-Qur’an, maka saat itu kita merasa tidak pantas mendapat rahmatnya. Hidup terasa sangat keruh, semua urusan terbengkalai dan keinginan kita tidak ada yang dikabulkan oleh Nya.
Memang tidak sepenuhnya salah, karena Allah telah berjanji akan membalas amal-amal kita, baik di dunia maupun akhirat. Tapi… apakah kita akan menjadi hambaNYA yang setiap saat mengungkit-ngungkit janjiNYA. Beratapa tidak sopannya kita kalau demikian. Imani saja janji Allah! Bukan hak kita untuk membicarakan apa yang Allah perbuat untuk kita. Lebih baik kita benar-benar berusaha menjadi hambanya yang baik.
Sekali lagi, Beramallah ! dan jangan berharap apa-apa dari amal kita. Jangan kita gantungkan diri kita dengan amal kita. Bergantunglah hanya pada Allah !!! Pikirkan saja bagaimana kita bisa beribadah, menyembah dan mengabdi dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya …. Kita serahkan semua urusan, dunia dan akhirat, hanya kepadaNYA. Gantungkan harapanmu hanya kepada Allah U , bukan yang lain! Bukan kebaikan kita! Bukan pula amal kita! Inilah wujud dari kemurnian, wujud dari pengesaan. Wujud dari illa liya’buduun.
Coba kita renungkan sabda Rasulullah
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
Dari Abi Hurairah, beliau berkata; aku mendengar Rasulullah berkata, “Amal seseorang tidak akan memasukkannya kedalam surga”. Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda Ya Rasulallah?”. Beliau menjawab, “Tidak! Tidak pula Aku kecuali bila Allah menyelimutiku dengan anugerah dan rahmat (NYA). Maka berlaku luruslah dan mendekatlah! (Diriwayatkan oleh Al-Bukhori; 5673, Muslim; 7294 dari Abi Ubaid Maula Abdirrahman bin Auf)
Bagaimana Dengan Urusan Duniawi
Jika urusan akhirat dimana Allah menjanjikan pahala dan surga saja tidak sepantasnya kita bergantung dengan amal. Apalagi urusan dunia. Sangat tidak sepantasnya kita bergantung diri pada pekerjaan kita. Hingga lupa bahwa rizki kita adalah pemberianNYA.
Sahabat tafaqquh, bekerja itu urusan kita melakukan perintah Allah. Tapi urusan rizki itu Allah yang menentukan. Kita bekerja karena melakukan perintah Allah untuk berikhiyar mencari harta yang halal. Jika kita niati demikian maka semestinya kita laksanakan dengan sebaik mungkin. Bukan karena pimpinan, bukan pula menginginkan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya, melainkan karena Allah. Kita lakukan sebaik mungkin sebagai wujud persembahan kita kepadaNYA. Jika kemudian Allah menganugerahi kita dengan rizki atas usaha kita maka jangan sekali-kali kita akui sebagai hasil usaha kita sendiri. Melainkan semata-mata pemberian Allah.
Banyak orang mengandalkan kemampuannya, kecerdasannya, kesungguhannya dalam bekerja. Ia hitung-hitung dengan cermat hasil yang akan ia dapatkan dari usahanya. Namun ia lupa bahwa segalanya akan tetap berpulang kepada Allah , sang pemilik rizki itu sendiri. Orang semacam ini, ketika mendapatkan keuntungan maka ia lupa bahwa itu adalah titipan Allah yang semestinya digunakan sesaui perintahNYA. Orang semacam ini merasa bahwa harta itu adalah miliknya, sehingga ketika ada yang berkurang atau hilang ia merasa sangat kehilangan sekali. Dan karena ia mengandalkan dirinya “amal”nya sendiri, ternyata kemudian apa yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka terjadilah stres yang berkepanjangan.
Pasrahkan semua kepada Allah
Berbeda jika ia bekerja karena Allah dan menyerahkan sepenuhnya urusan rizki kepada Allah. Ia akan bekerja denga sebaik-baiknya, karena ia merasa harus bertanggung jawab kepada Allah. Apa yang ia lakukan akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah. Bahkan ia malu kalau ia tidak bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Allah. Ini adalah motivasi terbesar dalam membakar semangat bagi orang yang beriman. Hal yang demikian ini pula yang telah membawa ummat Islam periode awal di bawah bimbingan Rasulullah ﷺ pada kejayaan yang tak tertandingi. Mereka berperang demi Allah, mereka berusaha mempersembahkan yang terbaik untuk Allah. Dan sebaliknya orang-orang kafir berperang karena urusan duniawi. Hasilnya, seperti yang telah kita saksikan sendiri. Kaum muslimin selalu memperoleh kemenangan.
Jadi, jangan disalah pahami bahwa bergantung kepada Allah berarti meninggalkan usaha sama sekali. Bergantung pada Allah adalah urusan ruhani kita, urusan hati kita. Sedangkan urusan dhohir jasmani kita Allah tetap memerintahkan kita untuk menggerakkannya, untuk berusaha.
Wallahu a’lam bisshowab.
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019