Shadow

Zaman Fatrah, Masa Kekosongan Syariat

Muhammad Miqdadul Anam (Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Semester VI)

Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat pembahasan menarik seputar masa kekosongan syariat. Di masa itu, tidak ada rasul yang diutus untuk menyebarkan syariat. Masa tersebut bernama Zaman Fatrah.

Mengenal Zaman Fatrah

Secara bahasa, fatrah diartikan sebagai terputus atau lemah. Para ulama kemudian menggunakan istilah ini sebagai penyebutan kondisi di antara dua rasul. Maka, kita mengenal istilah “Zaman Fatrah” ini sebagai masa kekosongan syariat karena ketiadaan rasul. Sekaligus kita mengenal istilah Ahl fatrah sebagai orang-orang yang hidup di masa tersebut.

Zaman fatrah ini memiliki lama yang berbeda-beda. Seperti jarak antara Nabi Isa AS dengan Nabi Muhmmad SAW berbeda dengan jarak antara Nabi Musa AS dengan Nabi Isa AS. Syekh Wahbah Az-Zuhaili mencontohkannya dalam kitab Tafsir Al-Munir,

ومن المعلوم أن ‌بين ‌آدم ونوح عشرة قرون، وبين نوح وإبراهيم عشرة قرون، وبين إبراهيم وموسى بن عمران عشرة قرون، والقرن مائة سنة، وبين موسى وعيسى ألف وسبعمائة سنة، وبين ميلاد عيسى والنبي صلّى الله عليه وسلّم خمسمائة وتسع وستون سنة

“Jarak waktu antara Nabi Adam AS dan Nabi Nuh AS terpaut 10 abad; antara Nabi Nuh AS dengan Nabi Ibrahim AS terpaut 10 abad; antara Nabi Ibrahim AS dengan Nabi Musa bin ‘Imran AS terpaut 10 abad (1 abad adalah 100 tahun); antara Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS terpaut 17 abad; sementara antara Nabi Isa AS dengan Nabi Muhammad SAW adalah 569 tahun.”

Jarak kekosongan yang jauh ini menimbulkan terjadinya banyak hal terhadap umat manusia. Salah satunya yang terjadi pada Bani Israil. Mereka melanggar titah nabinya untuk tidak mengubah isi kitab suci mereka. Sehingga, kitab Injil dan Taurat dengan entengnya mereka ubah tanpa merasa bersalah.

Bagaimana Nasib Ahl Fatrah?

                Setelah mengenal Zaman Fatrah, terdapat pertanyaan besar: Bagaimana nasib orang yang hidup di masa itu —Ahl Fatrah— kelak di akhirat? Apakah mereka tetap mendapat pahala saat melakukan kebaikan dan mendapat dosa saat mengerjakan keburukan?

               Dalam kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili setidaknya ada tiga golongan besar yang berselisih pendapat mengenai penentuan nasib Ahl Fatrah ini. Tiga golongan itu terdiri dari kelompok Asy’ariyah serta mayoritas ulama mazhab Syafi’i, kelompok Mu’tazilah serta kelompok lain yang berselisih dengan Ahl As-Sunnah wa Al-Jamaah, dan kelompok Maturidiyah serta mayoritas ulama mazhab Hanafi.

               Kelompok pertama berpendapat  Ahl Fatrah tidak dituntut meninggalkan keburukan dan mengerjakan kebaikan. Bahkan, mereka pun tak punya kewajiban untuk beriman dan mensyukuri nikmat dari Allah. Hal ini dikarenakan tak ada cara bagi Ahl Fatrah untuk mencapai itu semua. Pendapat ini didukung dengan dalil QS. Al-Isra` ayat 15,

…وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

               “… Dan kami tak akan mengazab sebelum kami mengutus rasul.”

               Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran menafikan adanya perhitungan amal, pertanggungjawaban atas kelakuan, dan hukuman atas keburukan sebelum seorang rasul diutus untuk menyebarkan syariat. Juga dapat dipaham bahwa ketiadaan azab dalam ayat menunjukkan mereka terhindar dari siksa neraka.

               Kelompok kedua berpendapat amal Ahl Fatrah masih diperhitungkan. Dalam artian, bila mereka melakukan kebaikan, maka mendapat pahala dan akan mendapat dosa saat melakukan keburukan. Hal ini dikarenakan, menurut Mu’tazilah, akal akan tetap dapat menangkap mana hal yang baik dan mana yang buruk. Tanpa ada rasul yang diutus pun Ahl Fatrah akan dapat memahami hukum-hukum tersebut dengan menggunakan akal.

              Konsekuensinya, nasib mereka di akhirat berdasarkan atas perbuatannya di dunia. Mereka pun berkewajiban untuk mengerjakan kebaikan dan menghindari keburukan sesuai yang dituntun akal mereka. Hal ini muncul karena, menurut mereka, Allah memberikan ganjaran sesuai dengan kadar perbuatan itu baik atau buruk.

               Kelompok ketiga memiliki pendapat yang hampir serupa dengan kelompok pertama. Bedanya, kelompok ketiga ini masih mewajibkan Ahl Fatrah untuk beriman dan meyakini keesaan Allah. Sehingga, bila mereka tak beriman pada Allah, di akhirat nanti mereka akan diazab.

                Walhasil, tidak semua kelompok berpendapat bahwa Ahl Fatrah selamat di akhirat nanti. Tentu, setiap kelompok punya pegangan dalil tersediri untuk merumuskannya. Kita tak berhak menyalahkan mereka bila hanya punya asusmsi tanpa disertai dalil.

Namun, Syeh Wahbah Az-Zuhaili berkomentar mengenai Ahl Fatrah ini. “Mereka diharapkan keselamatannya,” kata beliau. Jadi, para Ahl Fatrah beliau harapkan punya potensi besar selamat di akhirat kelak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.