Oleh: Nidhom Subkhi
Entah sejak kapan dan siapa yang memulai menyebut dunia internet dengan istilah “dunia maya”. Sekarang, istilah maya sudah lazim digunakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, maya berati sesuatu yang tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan ( http://kbbi.web.id/maya ). Penamaan ini “mungkin” karena interaksi digital terjadi tidak dalam kondisi “normal” dimana antar individu tidak terhubung secara langsung, face to face atau muwajahah dalam satu tempat atau majelis. Lebih dari itu, seseorang bisa saja memasang foto yang bukan fotonya, memakai nama selain namanya, bahkan ia bisa pula ‘menjelma’ menjadi sosok yang telah dikenal luas dengan memakai nama dan foto sang tokoh, lalu dengan leluasa ia mengumbar statemen, status, komen dan lain-lain seenaknya, orang jawa bilang se’enak udel’nya sendiri.
Dunia internet menjadi dunia tanpa keterikatan. Seorang pakar bisa saja dibuli habis-habisan hanya oleh seorang bocah ingusan. Seorang yang nol pengetahuan agama bisa mendadak ‘alim ‘allàmah bak seorang mujtahid, lalu dengan mudah menilai, menyalahkan, mencela, menghina, bahkan mencaci maki seorang yang memang benar-benar pakar, benar-benar ulama’. Bahkan hari-hari ini sebagian besar pemilik akun facebook di indonesia tiba-tiba menjadi mufassir dadakan. Tahukan apa yang mereka tafsirkan? Ya .. ayat itu! Al-Maidah;51.
Didalam sebuah forum atau grup media sosial, kata-kata mengalir deras, mulai dari bahasa yang santun hingga yang paling kasar, menghujat, menantang, mengolok-olok dan lain-lain. Semua berjalan hampir tanpa beban, tanpa batas dan tanpa keterikatan. Itulah yang terjadi sekarang.
Namun, tidak semua pengguna internet menempatkan internet benar-benar sebagai dunia maya. Mereka berprinsip dunia maya adalah ‘dunia nyata’. Berjauhan bukan berarti tidak ada, tidak saling mengenal bukan berarti tanpa etika. Mereka berinteraksi di dunia maya layaknya berinteraksi di dunia nyata. Orang-orang ini paham bahwa di dunia maya sekalipun, mereka tetap berinteraksi dengan manusia. Mereka konsisten menjaga nilai-nilai hubungan antar sesama. Bahasa agama menyebutnya husnul mu’asyarah. Dalam bahasa internet disebut netiket.
NETIKET ATAU NETTIQUETTE
Netiket atau Nettiquette adalah etika dalam berkomunikasi lewat internet. Netiket memiliki fungsi yang sama dengan Netiquette yang ada di dalam lingkungan sosial manusia, yaitu merupakan tata krama atau sopan santun yang harus diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik. Kebanyakan netiket yag sering digunakan mengacu pada standar netiket yag ditetapkan oleh IETF ( The Internet Engineering Tasking Force), yaitu suatu komunitas masyarakat internasional yang terdiri dari para perancang jaringan, operator, penjual dan peneliti yang terkait dengan evolusi arsitektur dan pengoperasian internet.(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nitiket)
PRINSIP DASAR NETIKET
Prinsip dasar dalam bernetiket adalah kesadaran bahwa kita berhubungan dengan manusia. Beretika dalam internet sama pentingnya dengan etika di dunia nyata.(ibid)
PERSPEKTIF FIQIH
Internet adalah hal yang baru. Kita kesulitan -untuk tidak mengatakan tidak mungkin- menemukan pembahasan internet secara langsung dan spesifik dalam literatur-literatur fiqih klasik. Namun demikian bukan berarti ulama tidak pernah menyinggungnya sama sekali. Ada beberapa pembahasan fiqih klasik yang bisa dikaitkan dengan internet.
Secara prinsip hal-hal yang berkaitan dengan internet dapat kita ketemukan padanannya atau nadhirnya dalam kitab-kitab klasik. Seperti pembahasan kitabah atau tulisan. Apakah tulisan sama hukumnya dengan ucapan? Sesuatu yang haram diucapkan apakah juga haram ditulis? Adapula pembahasan tentang transaksi jarak jauh, Saling berkirim salam hingga hukum ‘pacaran online’. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas setiap detail kasus seperti diatas, karena setiap detail kasus memerlukan pembahasan yang panjang. Tulisan ini hanya berusaha mengungkap prinsip-prinsip dasar fiqih yang relefan dalam berinternet. Diantara prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:
NIAT YANG BAIK
Dalam terma fiqih, niat mempunyai andil yang besar dalam berbagai aktifitas. Niat yang baik akan membuat sebuah aktifitas menjadi baik, demikian pula sebaliknya. Niat tidak hanya diperlukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ubudiyyah saja, namun juga masuk dalam ranah ‘duniawi’ termasuk berinternet.
Para fuqoha’ menjelaskan bahwa niat itu bisa dimasukkan dalam amaliah yang bersifat mubah. Amal yang pada dasarnya mubah jika diniati dengan baik akan berbuah pahala, demikian pula sebaliknya.
TULISAN SAMA DENGAN LISAN
Ibnu Hajar Al-Haitami ketika ditanya tentang buku yang berjudul an-nukat ad-dhirof yang didalamnya menyebutkan beberapa kekurangan dan cacat fisik yang dialami oleh orang-orang yang mulia, apakah hal itu termasuk ghibah atau bukan? Beliau menjawab (Fatawi Kubro, IV/82):
نعم ما ذكر من الغيبة المحرمة إذ الذي أجمعت عليه الأمة ونص عليه النبي – صلى الله عليه وسلم – أنها ذكرك غيرك بما يكرهه لو بلغه سواء أكان في بدنه كطويل أعمش أعور أقرع أسود أصفر أو نسبه أو خلقه أو فعله ككثير الأكل أو ملبسه كواسع الكم أو ولده أو زوجته أو مملوكه أو دابته أو داره كضيقة سواء ذكر شيء من ذلك باللسان أم بغيره كالكتابة فإن القلم أحد اللسانين وكالإيماء قال النووي بلا خلاف
“Benar, hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Karena telah menjadi kesepakatan ummat dan telah di tegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa ghibah adalah engkau menyebutkan orang lain dengan sesuatu yang ia benci seandainya ucapan itu sampai kepadanya. Baik hal itu berhubungan dengan sifat fisik seperti tinggi, rabun, juling, botak, hitam, pucat dan lain-lain, atau berhubungan dengan nasab, kepribadian, atau tingkah lakunya seperti banyak makan ….. baik hal itu disebut secara verbal (dengan ucapan) atau yang lain seperti dengan tulisan. Sebab pena adalah salah satu diantara dua lisan, demikian pula isarat. Imam an-Nawawi menjelaskan tidak khilaf dalam hal ini”.
Prinsip yang bisa diambil dari penjelasan Ibnu Hajar tersebut bahwa tulisan mempunyai hukum yang sama dengan ucapan. Prinsip ini juga diulang lagi oleh ibnu Hajar ketika menjelaskan akad jual beli dengan cara kitabah (Fatawi Kubro, II/257).
Lebih jelas, al-Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’Alawi menjelaskan (Is’adurrofiq Syarh Sulam Attawfiq, II/105) : “Diantara maksiatnya tangan adalah menulis sesuatu yang haram diucapkan. Disebutkan dalam al-Bidayah, pena adalah salah satu diantara dua lisan maka jagalah penamu dari apa yang wajib dijaga oleh lisanmu yang berupa ghibah atau yang lain. Pena sama bahayanya dengan lisan bahkan bahayanya lebih besar dan kekal …. Belajarlah dari apa yang dilakukan Imam Syafi’i ketika beliau menyampaikan hadits Nabi, ‘Andaikata Fathimah mencuri maka aku akan memotong tangannya’ beliau menyampaikannya dengan kinayah, ‘andaikata perempuan mulia mencuri ….. ‘, Imam Syafii beretika dengan tidak menyebut nama putri Rasulullah SAW sekalipun ayahandanya sendiri menyebut namanya“.
Jika kita pahami bahwa tulisan adalah lisan maka sepatutnya kita memahami bahwa semua yang kita tulis, sebagaimana yang kita ucapkan, tidak pernah lepas pengawasan Allah SWT dan harus kita pertanggung jawabkan sebagaimana firman Allah [Surat Qaf 18]
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Prinsip bahwa tulisan adalah lisan adalah prinsip paling mendasar dalam berinteraksi melalui internet. Prinsip dasar ini telah Allah firmankan dalam al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim“. (Al-Hujurat: 11)
JANGAN MUDAH PERCAYA
Ketika kita berhubungan dengan orang lain secara fisik, kita dapat menilai kredibilitas lawan bicara kita. Apakah ia orang yang dapat kita percaya ataukah tidak.
Berbanding terbalik dengan dunia maya, sering kali kita mendapat informasi yang tidak bertenggung jawab. Ada yang menyebarkan berita bohong, hoak, fitnah, profokasi dan lain-lain. Cek and ricek sangat diperlukan agar tidak mudah termakan oleh berita bohong.
Dalam pembahasan jual beli secara kitabah Ibnu Hajar al-Haytami menegaskan : “Tidak sepatutnya seseorang percaya begitu saja tentang adanya pembelian yang tercantum dalam tulisan kecuali melalui jalur yang menjamin hal itu. Karena pena adalah salah satu diantara dua lisan maka sebagaimana wajib meneliti kebenaran sebuah ucapan, wajib pula meneliti kebenaran tulisan“. (Fatawi Kubro, II/257) Dalam ungkapan ini jelas bahwa kehati-hatian adalah sebuah keniscayaan dalam berinteraksi melalui tulisan dalam hal ini interaksi digital. Hal ini diperlukan agar kita tidak mudah tertipu dalam berinteraksi melalui tulisan atau internet.
JANGAN SEMBARANGAN SHARE
Selain itu, karena alasan diatas sebaiknya jangan membagikan postingan yang tidak jelas. Jika postingan itu adalah kebohongan maka kitapun ikut andil di dalam menyebarkan kebohongan. Rasulullah SAW mengingatkan
كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع
“Cukup menjadikan bohong seseorang, menceritakan semua yang ia dengar” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Ibnu Hibban (I/214. Hadits ke 30)
كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع
“Cukup membuat seseorang berdosa, menceritakan semua yang ia dengar”
Dalam hubungannya dengan dunia maya hadits diatas dapat bermakna setiap orang yang mudah membagikan berita, status, meme, posting atau apa saja yang ia dapat maka mau tidak mau ia akan terjerembab dalam kebohongan bahkan dosa, karena ia telah menyebarkan berita bohong. Madzhab Ahlul Haq menyatakan bahwa bohong adalah memberitakan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan. Baik sengaja atau tidak. (Lihat Syarah Muslim Lil Imam An-Nawawi, I/75)
Bagi anda yang menjadikan internet sebagai sumber informasi maka telitilah dengan seksama, cari informasi dari situs yang terpercaya dibidangnya. Tapi tidak cukup itu, anda masih perlu menyaring, memfilter dan membandingkannya dengan sumber yang lain.
TAHU DIRI TAHU UKURAN
Di dunia maya, semua orang bisa menjadi apa saja yang ia inginkan. Ia bisa saja melewati batas kemampuannya di dunia nyata, sekalipun hal itu hanyalah kamuflase. Seseorang bisa saja tampil sangat cerewet, urakan, dan sangat ‘gaul’ padahal di dunia nyata ia sangat pendiam dan pemalu. Orang yang tidak mengerti politik sama sekali bisa berbicara layaknya seorang pengamat politik profesional. Tidak pernah baca buku sejarah tiba-tiba menjadi sejarawan ulung yang tahu segala sesuatu. Orang awam bicara agama mengalahkan orang yang bertahun-tahun berkutat menekuni ilmu agama.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’: 36)
Ayat ini melarang kita untuk berbicara melampaui kadar pengetahuan kita. Karena segalanya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
«من تكلم بغير علم لعنته ملائكة السماء والأرض» .
“Barang siapa berbicara tanpa ilmu maka ia dilaknati malaikat langit dan bumi” (al-Hawi lil Fatawi, alhafidh as-suyuthi)
Tahu diri dalam berkomunikasi akan menjadikan seseorang tidak mudah mengeluarkan statemen dalam bidang yang sebenarnya ia tidak punya kompetensi di dalamnya, menjadikan seseorang tidak mudah mencela, tidak ‘sok tahu’.
SALING MENGHORMATI DAN MEMAHAMI PERBEDAAN
Saat kita masuk di dunia maya, maka saat itu kita berhubungan dengan banyak ‘kepala’ yang masing-masing mempunyai isi yang berbeda-beda. Kita boleh punya prinsip atau keyakinan, dan ini harus dipertahankan. Akan tetapi jangan sekali-kali memaksakan prinsip dan keyakinan kita kepada orang lain. Jangan paksa orang lain menerima pendapat kita. Boleh berdiskusi, menyampaikan pendapat bahkan berdebat akan tetapi tetap disampaikan dalam semangat saling menghormati dan tidak saling menjatuhkan.
اِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah penantang yang paling keras“. (HR. Bukhori)
Inilah prinsip-prinsip yang dapat penulis pahami dan sampaikan. Dari prinsip-prinsip ini dapat kita terapkan dalam masalah-masalah yang lebih detail dan tulisan ini bukan tempatnya untuk membahas detail permasalahan yang dimaksud. Selain apa yang penulis sampaikan disini mungkin masih banyak lagi yang bisa kita gali dari berbagai literatur. Tegur sapa para pembaca adalah harapan kami.
Wallahu a’lam bisshowab.
Malang, (senin; 14 Shafar 1438)
Akhukum fillah
Nidhom Subkhi
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019