(Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang/Semester 4)
Islam itu agama yang unik. Kenapa penulis katakan unik? Karena, di satu sisi, nilai ajaran yang ada di dalamnya bersumber dari langit (Tuhan), namun, di sisi lain, tujuan nilai ajaran tersebut tidak lain adalah untuk kebahagiaan bumi (umat manusia). Kemaslahatan umat manusia adalah tujuan final diciptakannya nilai ajaran Islam.
Bagaimana membuktikan pernyataan di atas? Mari kita belajar salah satu tema kajian Ushul Fikih (Metodologi Hukum Islam), yakni seputar “kemaslahatan sebagai rujukan utama dalam menelurkan suatu hukum.” Salah satu khazanah yang bisa kita telaah adalah kitab bertajuk Ilmu Ushul Fikih, karangan Imam Abdul Wahab Khalaf, salah seorang pemikir Islam yang lahir di tengah-tengah kolonialisme Inggris di Mesir sebagaimana di bawah ini,
والمقصد العام للشارع من تشريعه الأحكام هو: تحقيق مصالح الناس بكفالة ضرورياتهم وتوفير حاجياتهم وتحسينياتهم
“Tujuan umum Allah Swt menciptakan nilai agama Islam adalah merealisasikan kemaslahatan umat manusia, dengan menjamin kebutuhan primer, sekunder dan tersier mereka.”
Konsep yang dijelaskan Imam Abdul Wahab di atas, dijadikan alat oleh ulama untuk memahami hukum-hukum syariat yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Hal tersebut juga menjadi pegangan ulama dalam menelurkan suatu hukum bagi problematika yang mungkin belum pernah mendapat jawaban sebelumnya. Karena dengan memahami konsep kemaslahatan, para ulama bisa mengetahui alasan bahkan hikmah dari munculnya suatu hukum.
Melihat pernyataan di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa kemaslahatan manusia itu terklasifikasi menjadi tiga macam; primer, sekunder dan tersier. Jadi, ketika ada satu perbuatan misalnya, bertolak belakang dengan tiga macam kemaslahatan di atas, sudah barang tentu tertolak oleh syariat. Dalam arti, Islam melarang perbuatan tersebut diadakan.
******
Untuk mengetahui lebih lanjut seputar konsep kemaslahatan, kita perlu meneruskan penjelasan Imam Abdul Wahab sebagaimana di bawah ini,
Kebutuhan Primer
Kita bisa memahami konsep “kebutuhan primer” melalui penjelasan di bawah ini,
فأما الأمر الضروري: فهو ما تقوم عليه حياة الناس ولا بد منه لاستقامة مصالحهم، وإذا فقد اختل نظام حياتهم، ولم تستقم مصالحهم، وعمت فيهم الفوضى والمفاسد
”Sesuatu bisa dikatakan kebutuhan primer ketika ia menjadi faktor kelestarian dan kemaslahatan hidup manusia. Ketika ada satu saja kebutuhan primer ditiadakan, sudah barang tentu sistem kehidupan manusia akan tidak karuan. Bahkan, kerusakan akan merata melanda umat manusia.”
Jadi, kita bisa mengukur sesuatu dikatakan “kebutuhan primer”, ketika ia sesuai dengan konsep menjaga enam prinsip pokok; agama, akal, keturunan, nyawa, kehormatan dan harta benda. Karena, menjaga enam prinsip tersebut, menjadi keharusan, ketika memang kemaslahatan umat manusia adalah yang diharapkan.
Dalam hal ini, kita bisa mencontohkan beberapa hukum Islam yang termasuk kategori menjaga enam prinsip di atas. Semisal, diharamkannya meminum minuman keras dan hukuman bagi peminumnya. Ini adalah usaha Islam dalam menjaga kesehatan akal manusia. Contoh lain, hukuman bagi penuduh zina, berupa cambukan, tidak lain untuk menjaga kehormatan yang dituduh.
Kebutuhan Sekunder
Untuk memahami klasifikasi kedua ini, kita lihat penjelasan di bawah ini,
وأما الأمر الحاجي: فهو ما يحتاج إليه الناس لليسر والسعة، واحتمال مشاق التكاليف، وأعباء الحياة. وإذا فقد لا يختل نظام حياتهم ولا تعم فيهم الفوضى كما إذا فقد الضروري، ولكن ينالهم الحرج والضيق
”Kebutuhan sekunder, berarti ia menjadi alat manusia untuk mempermudah menjalani kehidupan. Ia juga menjadi faktor mempermudah kesulitan ketika menjalani tanggungjawab (taklif) Allah Swt. Ketika ada kebutuhan sekunder yang tidak ada, sudah barang tentu, umat manusia akan merasa kesulitan. Namun, sistem kehidupan tidak sampai mengalami kehancuran.”
Untuk yang kedua ini, sudah barang tentu tingkatannya berbeda dengan yang pertama. Gampangnya, ketika yang kedua ini tidak ada, maka manusia akan merasa kesulitan, tanpa mengalami kehancuran sistem kehidupan.
Kita bisa mencontohkan, adanya transaksi yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat secara meluas. Semisal, jual beli, persewaan, dan lain sebagainya. Logikanya, ketika hal-hal ini tidak ada, sudah barang tentu manusia akan merasa kesulitan. Namun, tidak sampai merusak sistem kehidupan yang ada. Tidak sampai mengakibatkan manusia mati dalam jumlah yang banyak.
Kebutuhan Tersier
Yang terakhir ini adalah tingkatan paling bawah. Kita bisa memahaminya melalui penjelasan di bawah ini,
وأما التحسيني: فهو ما تقتضيه المروءة والآداب، وسير الأمور على أقوم منهاج، وإذا فقد لا يختل نظام حياة الناس كما إذا فقد الأمر الضروري، ولا ينالهم حرج، كما إذا فقد الأمر الحاجي، ولكن تكون حياتهم مستنكرة في تقدير العقول الراجحة والفطر السليمة
”Kebutuhan tersier adalah sesuatu yang menjadi tuntutan kehormatan dan keperwiraan. Ketika tidak ada, maka tidak akan memunculkan kesulitan, bahkan kerusakan sistem dunia. Namun, sekedar tidak sesuai atau diingkari oleh fitrah dan akal manusia yang normal.”
Biasanya, sesuatu bisa dikatakan ”kebutuhan tersier”, ketika dipandang bagus oleh kebiasaan, sesuai secara etika sosial serta hal-hal lain yang menjadi cara terbaik manusia dalam menjalani kehidupan mereka. Contohnya, adanya anjuran untuk melaksanakan ibadah salat dan puasa sunah, bersedekah dan lainnya. Contoh lain, keharaman manipulasi ketika transaksi jual beli, ketidakbolehan membunuh anak kecil dan perempuan ketika berperang dan beberapa contoh lainnya.
******
Jadi, bisa kita menyimpulkan, ajaran Islam itu tidak ada yang sia-sia. Sudah barang tentu, mengandung makna dimana kemaslahatan manusia ada di dalamnya. Namun, apapun bentuk kemaslahatan yang coba dianalisis oleh para ulama, maka jangan menjadi dasar kita dalam menjalani perintah Tuhan. Dalam arti, ketika suatu tuntutan misalnya, memang sudah menjadi perintah Tuhan, maka tidak perlu mempertimbangkan apapun, sudah barang tentu kita harus melaksanakan. Murni karena Tuhan, bukan karena yang lain. Sekian!
- Menyuruh Anak untuk Puasa Bedug, Apakah Dibenarkan? - Februari 27, 2025
- Hindari Sebelas Perkara Berikut! Niscaya Kamu Terhindar dari Perbuatan Ghibah - Januari 25, 2025
- Bermedia Sosial Dalam Timbangan Islam - Oktober 13, 2024