Mempelajari fiqih,
Di dalam mempelajari fiqih`kita akan dihadapkan dengan berbagai pendapat fuqoha’. Satu permasalahan hampir bisa dipastikan mempunyai jawaban yang beragam. Sah menurut madzhab A, batal menurut madzhab B, sah namun haram menurut madzhab yang lain. Hal yang demikian ini jamak terjadi, bahkan seakan sudah menjadi sebuah kelaziman bahwa berbicara fiqih sama halnya berbicara masalah khilafiyah.
Diantara ulama’ bahkan ada yang secara khusus mengupas perbedaan pendapat diantara mujtahid (baca: madzhab) sebagai contoh, al Imam An Nawawi dari kalangan madzhab Syafi’i menulis kitab al Majmu’ yang merupakan syarah dari kitab al Muhaddzab karangan Imam As Syayrozi. Dalam al Majmu’ Imam An Nawawi mengetengahkan alur diskusi yang panjang lebar disemua bab, bahkan semua permasalah dari tiap-tiap bab. Beliau memulai pembahasan dengan penjelasan secara gamblang pandangan madzhab Syafi’i sekaligus pemaparan argument-argument yang digunakan oleh madzhab Syafii dalam penggalian hukum. Setelah itu beliau mengetengahkan pendapat-pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat madzhab Syafii juga disertai argument-argument dari masing-masing pendapat. Sehingga, membaca kitab ini secara jernih membawa kita pada suasana diskusi yang hidup, dinamis, dan penuh gairah.
Kitab seperti al Majmu’ ini tidak hanya muncul dari kalangan madzhab Syafii. Madzhab-madzhab yang lain pun banyak kita ketemukan kitab dengan corak diskusi yang hampir sama dengan al Majmu’. Setidaknya ada Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari kalangan Hanafiyah dengan kitabnya Roddul Mukhtar, Ibn Rusydi dengan Bidayatul Mujtahidnya, Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah, al-Mizan al-Kubro, dan lain-lain.
Mengapa Berbeda?
Perbedaan hasil ijtihad diatas dapat dimaklumi, karena wilayah garapan mujtahid adalah masalah-masalah yang samar, khofiyyat bukan pada masalah-masalah yang sudah pasti hukumnya atau qoth’iyat (Badruddin Azzarkasyi, Bahrul Muhith:4/496, lihat pula abdul wahhab kholaf, ilmu ushulul fiqh).
Ibnul Hajib memberi definisi ijitihad sebagai:
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
“Pengerahan kemampuan oleh seorang faqih untuk menghasilkan dhon (dugaan) tentang hukum syar’i”.
Definisi seperti ini juga disampaikan oleh al-Ghozali, As-Subki, dan yang lain (al-Ijtihad wa thobaqotul Mujtahidi as Syafiiyah, Hasan Haitu, hal:15, Jam’ul Jawami’, Tajuddin Assubki; II/379).
Dengan demikian, fiqih adalah sekumpulan “dugaan” yang dibangun diatas dasar-dasar yang sekalipun bisa dipertanggungjawabkan namun tidak bisa menjadikannya sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Namun, sekalipun ijitihad itu “hanya” menghasilkan dugaan, ia bukanlah sebuah pekerjaan main-main. Diperlukan perangkat yang memadai untuk itu agar dugaan yang dihasilkan sebisa mungkin mendekati kebenaran.
Para Mujtahid dan Imam Madzhab
Para Mujtahid dan Imam Madzhab telah meletakkan dasar-dasar toleransi yang tinggi terhadap perbedaan, tidak ada klaim “paling benar” atau “satu-satunya yang benar” dan yang lain salah. Ada ungkapan yang terkenal sebagai wujud penghormatan atas keragaman intelektual di antara para Mujtahid. Ungkapan ini disampaikan oleh Imam Assyafii
رأيى صواب ويحتمل الخطاء ورأي غيرى خطاء ويحتمل الصواب
“Pendapatku bisa benar namun mungkin juga salah, pendapat selainku bisa salah namun mungkin juga benar”
Ungkapan ini menggambarkan bahwa seorang mujtahid sangat terbuka dengan pendapat mujtahid yang lain dan juga merupakan pengakuan yang tulus bahwa ia tidak mengetahui dimanakah kebenaran itu terungkap, bisa dari dirinya bisa pula dari yang lain.
Amat disayangkan jika tradisi intelektualitas yang elegan dan penuh adab dan kemulyaan ini kemudian tercoreng oleh sebagian kalangan yang dengan mudahnya menyalahkan, mem-bid’ahsesat-kan pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat mereka. Padahal jika ditelisik pendapat yang beseberangan itupun masih berada dalam wilayah ijtihadi yang masih terbuka untuk berbeda.
Kesimpulan
Mengakhiri tulisan singkat ini, penulis teringat masa-masa ketika sedang mencari ilmu, duduk mendengarkan uraian guru, dan ketika sudah terasa penat, malas, dan mengantuk ada satu kata yang paling ditunggu-tunggu yang efeknya hampir sama dengan kafein yang ada pada kopi yakni menghilangkan kantuk, merasa bahagia dan tiba-tiba semangat. Ungkapan itu adalah kata Wallohu a’lam bisshowab. Kurang lebih artinya Allah lah yang paling mengetahui mana yang benar. Belakangan penulis sadar bahwa ungkapan sederhana ini begitu luar biasa maknanya, sehingga hampir disetiap pembahasan fiqih yang tersebar dalam berbagai kitab selalu diakhiri dengan ungkapan Wallohu a’lam bisshowab. Sebuah pengakuan ketidakmampuan untuk menemukan kebenaran muthlaq sekaligus ungkapan “selamat datang” atas pendapat-pendapat yang lain. Ungkapan Wallohu a’lam bisshowab seakan mewakili mushonnif (penyusun kitab) untuk menyatakan; “inilah pendapatku atau pendapat imamku namun ingatlah bahwa benar yang sebenar-benarnya hanyalah milik Allah”.
Ada waktunya dimana satu pendapat jelas-jelas sudah keluar dari jalur syari’at yang semetinya. Jalur dimana tak ada satupun mujtahid dan ulama’ yang melaluinya. Pendapat seperti ini wajib untuk kita luruskan, tidak boleh kita biarkan. Namun tak jarang kita menemukan perbedaan yang sudah dari dulu, dari masa ulama’ mutaqoddimin memang sudah ada. Untuk yang seperti ini sebaiknya fahami dulu dengan tenang dan hati terbuka. Siapa tahu kita menemukan kebenaran didalamnya. Dan jangan lupa! Katakan Wallohu a’lam bisshowab.
Malang, penghujung 1437 H
Nidhom Subkhi
- TINGKATAN NAFSU MANUSIA - Mei 7, 2019
- NAFSUMU MUSUHMU - Mei 6, 2019
- DOA UNTUK ANJING - Mei 5, 2019