Shadow

Benarkah Wanita Haid Dilarang Ziarah Kubur?

(Tuhandi/Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Semester VII)

Dalam beberapa kesempatan, kita akan menjumpai suatu fenomena pemakaman atau perkuburan umum dibanjiri oleh orang-orang di pagi hari. Salah satunya saat hari Jumat Legi. Ziarah kubur atau biasa disebut nyekar di hari Jumat Legi memang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Ziarah kubur juga salah satu amalan yang disyariatkan dalam Islam. Nabi SAW bersabda,

« ‌نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا »

“Telah aku larang kalian untuk menziarahi kubur (sebelumnya), maka (sekarang) berziarahlah.” (HR. Muslim No. 977).

Terkait ziarah kubur ada salah satu anggapan, yang sepertinya sudah menjadi keyakinan banyak orang seperti di kampung kami, bahwa wanita haid dilarang keras pergi ziarah kubur. Sebagai santri kami gelisah dengan adanya anggapan tersebut. Masalahnya ini menyangkut hukum. Siapa lagi kalau bukan santri yang menegakkan hukum Islam?

Menurut kami, anggapan demikian itu bermasalah, atau tidak dapat dibenarkan. Kenapa? Karena meskipun wanita haid itu memiliki pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar (Haram dilakukan), tetapi itupun terbatas. Setidaknya, ada 10 pantangan bagi wanita haid. Qadli Abi Syuja’ menyebutkan, 

«ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله ودخول المسجد والطواف والوطء والاستمتاع بما بين السرة والركبة»

“Ada 8 pantangan bagi wanita haid: shalat, puasa, membaca Al-Qu`an, menyentuh mushaf, membawanya, memasuki masjid, tawaf, bersenggama, dan mengambil kesenangan pada anggota antara pusar dan lutut (bagi suaminya).”

Syeikh Ibrahim Al-Baijuriy memberi komentar,

«قوله ثمانية أشياء: العدد لا مفهوم له بل باعتبار ما ذكره هنا لآنه يحرم به أيضا الطهر والطلاق كما علم مما مر»

“Bilangan delapan tersebut bukanlah batasan paten, melainkan menyesuaikan dengan apa yang beliau sebutkan. Karena masih ada 2 hal lagi yang haram sebab haid, yaitu: bersuci (dari hadas haidnya) dan talak (bagi suaminya) sebagaimana yang sudah diketahui sebelumnya.” 

Dua pernyataan di atas senada dengan pernyataan ulama- ulama sebelumnya, Seperti Asy-Syiraziy dalam kitab Al-Muhadzdzab-nya (Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’iy vol. 1 hal. 76-77) dan Imam An-Nawawiy dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin-nya (Matan Minhaj Ath-Thalibin hal. 19). Namun, kami rasa pernyataan dari 2 ulama di atas sudah cukup untuk mewakili.

Dari 2 pemaparan tersebut, dan juga pemaparan dari ulama-ulama yang lain, tidak kita jumpai pantangan bagi wanita haid berupa ziarah kubur. Sehingga anggapan di atas patut disangsikan. 

Kemudian, kalau anggapan itu didasari oleh adanya bacaan-bacaan zikir atau bahkan ayat-ayat Al-Qur`an yang biasa dibaca oleh para peziarah kubur, maka itu juga salah besar. Pasalnya, ulama sepakat bahwa tidak ada larangan bagi wanita haid untuk membaca dzikir. Imam An-Nawawiy memberi penjelasan,

«وأجمع العلماء على جواز التسبيح والتهليل ‌وسائر ‌الأذكار غير القرآن للحائض والنفساء »

“Ulama bersepakat atas kebolehan membaca tasbih, tahlil, dan zikir-zikir lainnya selain Al-Qu`an bagi wanita haid dan nifas.” 

Tentang pembacaan ayat Al-Qur`an, Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy menerangkan,

‌«وَتَحِلُّ  ‌لِجُنُبٍ وَحَائِضٍ وَنُفَسَاءَ أَذْكَارُهُ وَمَوَاعِظُهُ وَقَصَصُهُ وَأَحْكَامُهُ لَا بِقَصْدِ قُرْآنٍ سَوَاءٌ أَقَصَدَ الذِّكْرَ وَحْدَهُ أَمْ أَطْلَقَ؛ لِأَنَّهُ أَيْ عِنْدَ وُجُودِ قَرِينَةٍ تَقْتَضِي صَرْفَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ كَالْجَنَابَةِ هُنَا لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ»

“Halal (boleh) bagi orang junub, wanita haid dan wanita nifas membaca zikir-zikir, nasihat-nasihat, kisah-kisah, dan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dari Al-Qur`an dengan catatan bukan dengan tujuan membaca ayat Al-Qur`an, baik bermaksud membaca zikir saja atau memutlakkkan (tidak menentukan ke salah satu). Karena bacaan tersebut, saat ada indikasi yang dapat mengalihkan dari fungsi asalnya, seperti jinabah dalam bab ini, tidak dianggap sebagai Al-Qur`an kecuali jika dimaksudkan untuknya.” 

Maka, anggapan perempuan haid dilarang untuk berziarah tidak dapat dibenarkan. Dalam arti, tidak ada larangan khusus bagi wanita haid untuk pergi ke pemakaman. Meskipun, saat berziarah, wanita haid itu membaca zikir seperti penjelasan di atas.

Referensi

Qodli Abi Syuja’, Matan Ghoyah wa Taqrib (Ibnu Hazm), hal. 54.

Ibrahim Al-Baijuriy, Hasyiyah Al-Baijuriy ‘ala Syarh Ibnu Qasim (Dar Al-Minhaj), vol. 1, hal 470

Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawiy, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Al-Maktabah At-Taufiqiyyah), vol. 2 hal. 333.

Syihabuddin Ahmad Al-Haiyamiy, Tuhfah Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj (Syirkah Al-Quds), vol. 1 hal. 163.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.