Pertanyaan:
Masjid di tempat kami sedang dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan tersebut ada satu permasalahan yang butuh segera jawaban. Permasalahan tersebut adalah tanah galian untuk pondasi masjid. Bagaimanakah hukumnya? Bolehkah kita jual? Mengingat tanah tersebut diambil dari dalam area masjid.
Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih.
Jawaban:
Masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk sholat (Al-Bantani, Kasyifatus Saja, h. 28. Al-Khudloyri, Ahkamul Masajid, juz 1, h. 11). Sedangakan tujuan utama waqaf adalah mendapatkan pahala yang terus mengalir (jariyah).
Imam Muslim dan yang lain meriwayatkan dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
«إِذا مَاتَ ابْن آدم انْقَطع عمله إِلَّا من ثَلَاثَة : صَدَقَة جَارِيَة ، وَعلم ينْتَفع بِهِ ، وَولد صَالح يَدْعُو لَهُ» .
“Jika anak Adam telah mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak sholih yang mendoakannya”.
Para ulama’ menjelaskan bahwa yang dimaksud shodaqoh jariyah adalah wakaf (Zainuddin al-Malaybari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Juz III, h. 157).
Disebut jariyah -yang berarti mengalir- karena pahala wakaf akan terus mengalir selama barang yang diwakafkan masih difungsikan (Ibid, h. 186).
Maka dari itu, tugas pengelola (nadhir) adalah menjaganya dengan sangat hati-hati sebagaimana menjaga harta anak yatim (Bakhit al-Mu’thi, Takmilatul Majmu’, juz 15. H. 363). Intinya, hak waqif (orang yang mewakafkan) harus dijaga dan dilindungi.
Jika kita telaah lebih lanjut dalam berbagai literatur fiqih maka akan tampak jelas bahwa hak waqif itu meliputi dua hal.
Pertama, tujuan atau keinginan wakif. Hal ini bisa dibuktikan dengan penjelasan para ulama’ bahwa tasharrufnya mauquf itu harus sesuai dengan qashdul waqif atau tujuan pemberi wakaf. Dari sini pula kita dapat mengerti mengapa syarat yang diajukan wakif dalam pentasharrufan wakaf harus diikuti.
Kedua, hak untuk mendapatkan pahala yang mengalir. Jangan sampai wakif tidak mendapatkan pahala dari harta yang telah ia wakafkan.
Terhalangnya pahala tersebut bisa disebabkan karena harta yang diwakafkan dijual, dialihfungsikan, ditelantarkan atau yang lain. Harta yang telah diwakafkan harus mendapat perlindungan, sekecil apapun harta tersebut. Hal ini, sekali lagi demi menjaga keberlangsungan “aliran” pahala shodaqah yang disebut sebagai shadaqah jariyah tersebut.
Perlindungan hak wakif seperti diatas tidak luput dari pertimbangan ulama’ dalam menyikapi permasalah sebagaimana yang ada dalam pertanyaan.
Al-Faqih Abu Bakar bin Ahmad al-Khothib (w. 1356) sebagaimana dilansir oleh al-Allamah Abdullah Bafadlol dalam mauhibul fadlal dan al-allamah Salim bin Hafidh dalam al-fatawa an-nafi’ah telah menjelaskan dengan sangat apik permasalahan tersebut.
Berikut adalah jawaban Al-Faqih Abu Bakar bin Ahmad al-Khothib yang telah diringkas oleh Syekh Abdullah Bafadlal (Mawahibul Fadlal bi Fatawa Bafadlal, h. 48).
“Sesungguhnya jika masih memungkinkan menyimpan tanah yang disebut dalam pertanyaan hingga waktu dimana masjid membutuhkan tanah tersebut maka nadhir wajib menyimpannya dan tidak boleh menjualnya atau menggunakannya untuk pembangunan masjid lain.
Namun apabila telah dipastikan bahwa masjid tidak lagi membutuhkan tanah tersebut maka boleh digunakan untuk membangun masjid yang lain. Sedangkan menjualnya sama sekali tidak diperbolehkan.
Syekh Abdullah bin Umar Makhramah berpendapat; jika tanah tersebut tidak dijual maka akan terbengkalai atau hilang atau dapat dikuasai oleh orang-orang dholim maka boleh menjualnya bahkan wajib”.
Kesimpulan :
Tanah galian pondasi masjid sebisa mungkin difungsikan untuk kepentingan masjid tersebut.
Bila masjid tersebut sudah tidak membutuhkan dan dikawatirkan tanah tersebut akan tersia-sia atau dikuasai oleh pihak lain maka boleh digunakan untuk kepentingan masjid lain, dan jika sudah tidak memungkinkan maka boleh dijual.
Wallahu A’lam bis Showab
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019