Tafaqquh.com – Dalam sebuah diskusi kecil dengan seorang sahabat lama, penulis mendapat pertanyaan tentang sebuah kaidah fiqih yang berbunyi al-‘adah muhkamah atau muhakkamah. Adat itu bisa menjadi hukum. Itu maksudnya bagaimana?
Dengan segala keterbatasan, penulis mencoba me”roisi” (istilah pesantren untuk santri yang kebagian tugas menyampaikan materi pada sebuah diskusi atau musyawarah) beliau yang sebenarnya lebih alim dari pada penulis.
Berikut adalah penjelasan singkat yang bisa penulis sampaikan. Penulis turunkan disini siapa tahu ada yang berkenan, baik berkenan mengoreksinya atau menggunakannya sebagai sebuah bahan ‘kajian ringan’.
Jadi begini ………. Adat atau dikenal dengan istilah urf adalah sesuatu yang berlangsung berulang-ulang dan diterima oleh tabiat. (Ghomzu uyunil bashoir)
Keberlangsungan adat ini menandakan adanya hajat atau adanya sesuatu yg menjadi “kemakluman” bersama (jawa= podo ngertine).
Karena demikian, tidak mungkin adat ini dibiarkan begitu saja tanpa menjadi pertimbangan hukum (ushul fiqh abdul wahab kholaf). Maka, adat atau urf dipertimbangkan sebagai salah satu dasar hukum.
Jika diperhatikan secara seksama, adat atau urf “bukanlah” dasar hukum. Karena nyatanya, urf tidak bisa digunakan manakala ia berlawanan dengan nash atau syari’at.
Lha terus ….. fungsinya urf itu untuk apa? Menurut saya (sekali lagi, ini adalah pandangan pribadi saya) urf itu fungsinya antara lain:
1. Penafsir nash. Seperti batas banyak dan sedikit pada semisal masalah taghoyyurul ma’ (perubahan air, apakah perubahan itu banyak sehingga berpengaruh pada hukum air itu? Ataukah sedikit sehingga tidak ada pengaruhnya?). Atau semisal masalah seberapa banyak gerakan dalam sholat yang terhitung banyak sehingga bisa berakibat batal? Hal-hal seperti ini dikembalikan kepada urf. Dalam hal ini, ada sebuah kaidah yang masyhur
ما لا ضابط له فى الشرع ولا فى اللغة يرجع فيه الى العرف
2. Kesepakatan tidak tertulis yang berlaku pada satu komunitas atau kelompok masyarakat seperti; hadaya al mahmulah fil afrah (hadiah yang dibawa pada saat pesta), mu’athoh (jual beli tanpa shighot), dugaan ridlo pada masalah luqotho (barang temuan) dan masih banyak yang lain yang tersebar di banyak kitab-kitab fiqih.
3. Mahkum alaih atau obyek hukum. Maksudnya, kebiasan masyarakat haruslah tetap dipertimbangkan dengan dalil-dalil nash ataupun qiyas.
Kebiasaan tidak bisa serta merta di anggap benar apalagi dijadikan dasar hukum.
Setelah penulis jelaskan panjang lebar, entah tanda setuju ataukah tanda bahwa penjelasan penulis mbulet sehingga tidak layak diperdebatkan, yang jelas beliau manggut-manggut. Dan setelah penulis perhatikan dengan seksama ternyata beliau ….. tertidur.
Wallahu ‘alam bisshowab
Dari bilik bambu
Pesantren Salafiyah As-Syafiiyah
Nidhom Subkhi Rifa’i
- RAGAM DEFINISI PUASA - April 20, 2020
- RAHASIA-RAHASIA PUASA I - Mei 8, 2019
- MENGGUNAKAN INVENTARIS MASJID - April 29, 2019