Oleh : Ust. Nidhom Subkhi
Tafaqquh.com – Bermadzhab secara manhaji sebenarnya telah lama diperbincangkan bahkan sejak sejarah fikih dimulai. Tidak hanya sebatas sebuah gagasan, melainkan sudah dipraktekkan dan menjadi keharusan dalam menyikapi problematika masyarakat yang terus berkembang.
Manhaj Ifta’
Imam an-Nawawi dalam Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti (h. 24) ketika menjelaskan kategori-kategori mufti berdasarkan kemampuan dalam berijtihad menjelaskan;
الحالة الرابعة أن يقوم بحفظ المذهب ونقله وفهمه في الواضحات والمشكلات ولكن عنده ضعف في تقرير أدلته وتحرير أقيسته فهذا يعتمد نقله وفتواه به فيما يحكيه من مسطورات مذهبه من نصوص إمامه وتفريع المجتهدين في مذهبه وما لا يجده منقولا إن وجد في المنقول معناه بحيث يدرك بغير كبير فكر أنه لا فرق بينهما جاز إلحاقه به والفتوى به وكذا ما يعلم اندراجه تحت ضابط ممهد في المذهب وما ليس كذلك يجب إمساكه عن الفتوى فيه ومثل هذا يقع نادرا في حق المذكور إذ يبعد كما قال إمام الحرمين أن تقع مسألة لم ينص عليها في المذهب ولا هي في معنى المنصوص ولا مندرجة تحت ضابط وشرطه كونه فقيه النفس ذا حظ وافر من الفقه قال أبو عمرو وأن يكتفي في حفظ المذهب في هذه الحالة والتي قبلها بكون المعظم على ذهنه ويتمكن لدربته من الوقوف على الباقي على قرب
Kategori mufti yang keempat; adalah seseorang yang mampu menghafal, mengutip dan memahami pendapat madzhab, baik permasalahan yang jelas maupun yang rumit. Akan tetapi ia lemah dalam menguatkan dalil serta memilah-milah masalah berdasarkan aqyasiyah (kesesuaian masalah dengan masalah lain berdasarkan kesesuaian illat). Periwayatan madzhab dari mufti kategori ini dapat diterima. Demikian pula fatwa yang ia dasarkan pada riwayat yang tertulis dari nash-nash imamnya atau dari pengembangan masalah (tafri’) yang dilakukan oleh para mujtahid dalam madzhabnya.
Mufti demikian ini boleh mengilhaqkan (menyamakan) Perkara yang tidak manqul (tidak tersurat dalam riwayat madzhab) dengan perkara yang manqul. Ilahq ini dapat dilakukan bila tanpa butuh penalaran rumit mufti dapat menemukan makna yang tersirat dari perkara yang manqul, yakni sekiranya bisa disimpulkan bahwa antara yang manqul dan yang tidak manqul tidak ada perbedaan. Demikian pula halnya perkara yang masuk dibawah dlobith (ketentuan) yang menjadi dasar dalam madzhab.
Sedangkan perkara yang yang tidak demikian, maka wajib menahan diri dari fatwa. Hal ini (tidak adanya nash dan tidak bisa diketemukan maknanya dalam nash serta tidak masuk dalam dlobith) adalah perkara yang langka. Karena, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Haramain, sangat jauh (hampir tidak mungkin) ada satu masalah dan tidak ada nash tentangnya dalam madzhab, tidak pula tersirat dalam nash dan juga tidak masuk dalam satu dlobith.
Syarat mufti pada kategori ke empat ini adalah; faqihun nafsi dan punya kapasitas memadai dalam fikih. Abu Amr menambahkan, mufti pada kategori ini adalah orang yang menghafal sebagian besar madzhab serta terlatih untuk bisa menemukan pendapat madzhab yang tidak ia hafal dalam waktu yang singkat.
Tampak sekali dalam penjelasan Imam An-Nawawi diatas bahwa metodologi manhaji adalah sesuatu yang niscaya dilakukan dalam menjawab problematika permasalahan fikih. Seorang mufti dengan standar paling minim sekalipun diharuskan mempunyai kemampuan menemukan makna yang terkandung dalam nash-nash mujtahid madzhab, menemukan titik temu atau illat antara beberapa permasalahan dan kemudian menggunakan makna dan illat tersebut sebagai piranti dalam merumuskan permasalahan fikih yang berkembang.
Apa yang disampaikan Imam An-Nawawi tersebut sekaligus menegaskan bahwa metodologi bermadzhab secara manhaji adalah sebuah metodologi yang sah dalam bermadzhab.
Term Faqihun Nafsi
Namun sebagai sebuah aktifitas ilmiyah, bermadzhab secara manhaji harus memenuhi ketentuan ilmiyah sebagai bentuk tanggung jawab atas hasil yang nantinya akan dirumuskan. Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menerapkan metode manhaji dalam menggali makna yang ada dalam pendapat madzhab; yaitu faqihun nafsi dan penguasaan fikih yang mumpuni.
Berkenaan dengan term faqihun nafsi yang menjadi standar kelayakan dalam bermanhaj, Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ menjelaskan;
(فقيه النفس) أي شديد الفهم بالطبع لمقاصد الكلام ؛ لأن غيره لا يتأتى له الاستنباط المقصود بالاجتهاد
Faqihunnafsi adalah seseorang yang secara naluri punya pemahaman kuat terhadap maksud-maksud kalam. (disyaratkannya faqihunnafsi) karena selain orang yang faqihunnafsi tidak akan dapat melakukan istinbath yang menjadi maksud dari ijtihad.
Definisi Faqihun nafsi secara lebih gamblang disampaikan dalam al-Mawsu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaytiyah;
الموسوعة الفقهية الكويتية (1/ 15)
وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ ” فَقِيهَ النَّفْسِ ” لاَ يُطْلَقُ إِلاَّ عَلَى مَنْ كَانَ وَاسِعَ الاِطِّلاَعِ قَوِيَّ النَّفْسِ وَالإِْدْرَاكِ ، ذَا ذَوْقٍ فِقْهِيٍّ سَلِيمٍ وَإِنْ كَانَ مُقَلِّدًا .
Para ahli fikih telah sepakat bahwa term faqihunnafsi tidak diberikan kecuali untuk orang yang berwawasan luas, kuat karakter dan pemikirannya, serta mempunyai dzauq fikih yang baik sekalipun ia seorang muqallid.
Walhasil, bermadzhab mestinya difahami sebagai sebuah pendekatan menuju aktualisasi pesan ilahi. Karenanya, bermadzhab tidak berarti menutup mata dan menghilangkan sifat kritis. Sebaliknya, bermadzhab hendaknya bisa menumbuhkan daya kritis serta menajamkan penalaran atas teks-teks fikih para ulama’ terdahulu. Bukan untuk memporak porandakan tatanan fikih yang sudah ada, namun untuk menyelami makna yang ada dibalik teks-teks tersebut. Dengan demikian diharapkan fiqh sebagai wujud dari rumusun syari’at Islam bisa selalu hadir dan memberi solusi atas problematika masyarakat yang selalu berkembang. Dan, bermadzhab secara manhaji menawarkan hal itu.
Namun juga perlu diingat, fikih bukanlah murni urusan “pemikiran”, lebih dari itu fikih adalah “tafsir” dari apa yang dikehendaki Tuhan dalam firmanNya dan dalam pesan-pesan utusanNya. Maka dari itu kehati-hatian serta rasa tanggung jawab kepada Tuhan haruslah menjadi penopang utama dalam bermadzhab secara manhaji
Wallahu a’lam Bisshowab
- TINGKATAN NAFSU MANUSIA - Mei 7, 2019
- NAFSUMU MUSUHMU - Mei 6, 2019
- DOA UNTUK ANJING - Mei 5, 2019